Jakarta, Sriwijaya Media – Rasa-rasanya masih sangat jelas diingatan masyarakat Indonesia, beberapa waktu lalu pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membuat kebijakan yang banyak menuai kontroversi.
Kebijakan tersebut dikenal dengan Omnibus Law yang kemudian menjadi Undang-Undang (UU) No 11/2020 tentang cipta kerja.
Tak cukup sampai disitu, rupanya pemerintah melalui Kementrian Ketenagakerjaan Republik Indonesia (Kemenaker RI) menganggap UU Cipta Kerja belum cukup membuat kaum buruh menderita, sehingga penderitaan kaum buruh Indonesia harus dilengkapi dengan kebijakan baru yaitu Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) RI No 2/2022 tentang tata cara dan persyaratan pembayaran manfaat Jaminan Hari Tua (JHT).
“Permenaker No 2/2022 yang memuat soal dana JHT baru bisa dicairkan setelah usia 56 tahun, merupakan kebijakan yang mendapatkan penolakan keras secara serentak oleh masyarakat di seluruh Indonesia, karena sedari awal kebijakan ini dianggap tidak transparan, tidak partisipatif, cenderung dipaksakan dan merampas hak kaum buruh sebagai pemilik seutuhnya dana JHT,” kata Sekretaris Jendral (Sekjen) Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) Damar Panca Mulia dan Ketua Umum LMND DN Muhammad Arira Fitra, Selasa (15/2/2022).
Menurut dia, dana tersebut dipungut dari pemotongan upah buruh selama masa kerja dan kewajiban pengusaha selama mempekerjakan buruh yang bersangkutan, dapat dipastikan tidak ada sama sekali pendanaan JHT dari negara sehingga sangat tidak rasional ketika negara menahan uang masyarakat melalui kebijakan yang sangat memalukan ini.
Dari situasi yang seperti itu, maka sangat wajar jika kemudian bermunculan asumsi liar dari masyarakat, apakah pemerintah melalui Kemenaker sengaja membuat aturan baru tersebut, untuk terus mengakumulasi dana JHT yang telah terkumpul sebesar Rp555 Triliun, digunakan untuk pembiayaan pembangunan oleh Pemerintahan Jokowi.
Selain pandai bersilat bersilat lidah dan bermain akrobat, pemerintah harus kembali menebalkan wajahnya untuk menghalau rasa malu karena kembali berupaya memberikan ilusi melalui Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) sebagai solusi dari Permenaker No 2/2022.
“Kita kaum buruh mengetahui akal bulus pemerintah bahwa JKP bukanlah hal yang otomatis dapat dinikmati buruh yang kehilangan pekerjaan, mengingat berbagai syarat yang bersifat akumulatif yang terkandung dalam ketentuan Peraturan Pemerintah (PP) tentang JKP, diantaranya adalah kriteria penerima JKP, yang dipersyaratkan bagi pekerja yang sudah menganggur selama 6 (enam) bulan berturut-turut sebelum di PHK dan sudah menjadi peserta paling sedikit 12 (dua belas) bulan dalam 24 (dua puluh empat) bulan,” paparnya.
Berdasarkan beberapa alasan tersebut diatas, untuk itu pihaknya dan Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi- Dewan Nasional (LMND-DN) meminta kepada pihak Kemenaker segera mencabut Permenaker No 2/2022 tentang tata cara persyaratan pembayaran JHT sekaligus memberlakukan kembali Permenaker RI No 19/2015 tentang tata cara persyaratan pembayaran JHT.(Santi)