PRIMA Sinyalir Ada Praktik Oligarki Dibalik Naiknya Harga Migor

IMG_20220131_225119

Jakarta, Sriwijaya Media – Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) mensinyalir adanya praktik oligarki dibalik kenaikan harga minyak goreng (migor) yang sekarang hampir terjadi di seluruh Indonesia.

Diketahui, belakangan ini harga migor di pasaran melonjak drastis. Di beberapa wilayah, harga migor sampai menyentuh Rp20.000 per liter. Padahal sebelumnya harga migor hanya sekitar Rp11.000 hingga Rp13.000 per liter.

Bacaan Lainnya

Tingginya harga migor tersebut dipicu oleh kenaikan harga kelapa sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) di pasar internasional sehingga para pengusaha sawit menggunakan kesempatan itu untuk menaikkan harga migor di dalam negeri.

Wakil Ketua Umum (Waketum) PRIMA Bidang Kesejahteraan Rakyat Wahida Baharuddin Upa mengungkapkan kebijakan menaikkan harga migor yang disesuaikan dengan harga kelapa sawit di pasar internasional merupakan bagian dari praktik kartel.

Dia menilai para pengusaha ingin mendapatkan keuntungan besar meski pasokan bahan bakunya masih melimpah.

“Sepanjang tahun 2021 saja produksi kelapa sawit capai 46,88 juta ton. Bahkan, bisa dibilang Indonesia merupakan negara penghasil kelapa sawit terbesar di dunia,” ucap Wahida, dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (31/1/2022).

Wahida menjelaskan, sebagian besar produksi kelapa sawit nasional juga diekspor ke luar negeri. Pada tahun 2021 lalu, volume ekspor CPO capai 34,2 juta ton.

“Artinya 72,9 persen produksi CPO nasional di bawa ke luar negeri,” terang Ketua Umum Serikat Rakyat Mandiri Indonesia (SRMI) itu.

Tak hanya itu, lanjut Wahida, saat ini setidaknya 40 persen pangsa pasar migor Indonesia dikuasai oleh 4 perusahaan besar.

Mereka juga merupakan konglomerat penguasa sawit yang memiliki usaha perkebunan sekaligus industri pengolahan produk turunan seperti biodiesel, margarin dan migor.

“Ini berarti sektor perkebunan kelapa sawit dan produksi turunannya seperti migor hanya dikuasai dan dikontrol oleh segelintir orang,” paparnya.

Ia juga menyoroti upaya pemberian subsidi yang dilakukan oleh pemerintah.

Menurut dia, kebijakan itu sebenarnya hanya menyentuh permukaan saja, tanpa merubah inti persoalan. Pemerintah juga telah masuk dalam jerat praktik oligarki yang dilakukan oleh sekelompok konglomerat super kaya.

“Subsidi seolah-olah untuk kepentingan rakyat, kenyataannya, yang untung lagi-lagi adalah para produsen besar minyak goreng,” tuturnya.

Memang benar dalam upaya untuk menekan tingginya harga migor, pemerintah menggelontorkan subsidi harga capai Rp3,6 triliun melalui perusahaan migor. Pemerintah melibatkan 70 industri minyak goreng dan ditahap awal, setidaknya terdapat sekira 5 industri yang akan menyiapkan minyak goreng kemasan sederhana.

Oleh sebab itu, Wahida mendorong pemerintah untuk merombak seluruh pengaturan dari hulu sampai hilir. Dari sektor hulu, perkebunan kelapa sawit harus dikuasai oleh negara sepenuhnya, selain itu pemerintah juga harus menghidupkan kembali perkebunan-perkebunan rakyat.

Sementara untuk sektor hilir, pemerintah sudah seharusnya mulai menghidupkan kembali pengelolaan usaha yang dilakukan secara mandiri oleh rakyat dalam bentuk koperasi atau badan usaha lain.

“Tentu saja dengan modernisasi manajerialnya. Sehingga kelompok usaha rakyat ini bisa melawan dominasi para kartel yang menguasai pasar,” jelasnya.(Santi)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *