Jakarta, Sriwijaya Media-Menilik sosok Jaksa Agung Dr H Sanitiar Burhanuddin, SH., MM., akhir-akhir ini menarik atensi publik. Sebab, banyak gebrakan hukum yang dilakukannya, mulai dari membongkar kasus-kasus korupsi besar hingga gagasan revolusionernya mengenai keadilan restoratif.
Tak heran, sikap tegas Jaksa Agung ini membuat koruptor ketar-ketir sehingga nekat melakukan serangan balik terhadap institusi Kejaksaan dan Jaksa Agung secara pribadi, bahkan menyebutnya kontroversial.
Namun, Burhanuddin tidak bergeming. Dibawah kepemimpinannya, kinerja Kejaksaan Agung semakin kuat dan ditakuti koruptor. Banyak kasus korupsi skala besar dan rumit berhasil dibongkar hingga diseret ke pengadilan. Para pelakunya pun dihukum dan harta mereka disita untuk mengembalikan kerugian negara.
Terbukti, uang negara yang berhasil diselamatkan Kejaksaan Agung (Kejagung) cukup fantastis. Seperti kasus Danareksa Sekuritas Rp105 miliar, kasus impor tekstil Rp1,6 triliun, kasus Asuransi Jiwasraya Rp16 triliun, dan kasus Asabri Rp22,7 triliun.
Statment Burhanuddin juga membuat koruptor dan kolaboratornya panas dingin. Bagaimana tidak, Jaksa Agung menegaskan tak pandang bulu menjerat siapapun yang melindungi koruptor. Ancaman ini benar-benar dibuktikan pada kasus mega korupsi Jiwasraya dan Asabri, juga kasus lainnya.
Terakhir, Kejagung menjerat anggota DPR RI Alex Noerdin, sekaligus mantan Gubernur Sumsel, sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi di Perusahaan Daerah Pertambangan dan Energi (PDPDE) Sumsel.
Disisi lain, ST Burhanuddin merasa sedih ketika ada rakyat jelata yang dihukum layaknya kriminal, seperti kasus yang menimpa Nenek Minah dan Kakek Samirin. Dia menilai kedua orang tua miskin ini telah mendapat perlakuan hukum tidak pantas dan tidak seyogianya diteruskan ke pengadilan.
Nenek Minah merupakan warga Dusun Sidoarjo, Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Banyumas, Jawa Tengah. Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto menjatuhkan hukuman 1 bulan 15 hari penjara dengan masa percobaan 3 bulan, lantaran mengambil tiga biji kakao di perkebunan milik PT Rumpun Sari Antan (RSA).
Sementara Kakek Samirin (68), asal Simalungun, Sumatera Utara (Sumut), dihukum 2 bulan penjara karena memungut getah karet seharga Rp17.000.
Sejatinya, kata Burhanuddin, jaksa selaku pemilik asas dominus litis, adalah pengendali perkara yang menentukan dapat atau tidaknya suatu perkara dilimpahkan ke pengadilan.
Dia menjelaskan penghentian perkara berdasarkan keadilan restoratif adalah suatu bentuk diskresi untuk menyeimbangkan antara aturan yang berlaku dengan tujuan hukum yang ingin dicapai.
“Saya ingin Kejaksaan dikenal melekat di mata masyarakat sebagai institusi yang mengedepankan hati nurani dan penegak keadilan restoratif. Kejaksaan harus mampu menegakkan hukum yang memiliki nilai kemanfaatan bagi masyarakat,” ucap Burhanuddin sembari menekankan Korps Adhiyaksa tidak membutuhkan jaksa yang pintar, tapi tidak bermoral, mengutip di teropongsenayan.com, Rabu (22/9/2021).
Sebagai acuan restorative justice, Jaksa Agung telah menerbitkan Peraturan Kejaksaan (Perja) RI No 15/2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, yang diundangkan pada 22 Juli 2020.
Sejak Perja ini diterbitkan, Kejagung telah menghentikan 302 perkara. Rinciannya, 222 perkara pada 2020 dan 80 perkara pada Januari-Agustus 2021 yang terdiri dari 73 perkara orang dan harta benda serta 7 perkara terkait keamanan negara dan ketertiban umum serta tindak pidana umum lain.
Ada beberapa syarat penerapan Perja 15/2020, antara lain tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 tahun, serta barang bukti atau nilai kerugian perkara tidak lebih dari Rp 2,5 juta.
Gagasan Jaksa Agung ST Burhanuddin mengenai keadilan restoratif melalui pendekatan hati nurani itu menjadi perbincangan di kalangan akademisi dan pakar hukum pidana.
Gagasan tersebut tidak hanya dinilai revolusioner karena bisa mereformasi sistem peradilan pidana di Tanah Air yang masih terjebak pada pendekatan retroactive/retributive/
Pendekatan keadilan restoratif mampu memecahkan kebuntuan atau kekosongan hukum materil dan hukum formil yang saat ini masih mengedepankan aspek kepastian hukum dan legalitas formal, daripada keadilan hukum yang lebih substansial bagi masyarakat.
Sebagai apresiasi atas gagasan cemerlang itu serta kontribusinya di dunia hukum dan perguruan tinggi, Burhanuddin dianugerahkan gelar Guru Besar atau Profesor Kehormatan oleh Universitas Jenderal Soedirman.
Tidak hanya itu, pendekatan keadilan restoratif dapat meminimalisir over capacity penjara yang menjadi momok bagi Lapas di Indonesia. Oleh karena itu, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly mengatakan prinsip keadilan restoratif ini akan diserap ke dalam revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (PAS).
“Dalam KUHP kita ada prinsip restoratif, nanti KUHP yang baru akan ada restorative justice. Tentu Undang-Undang PAS harus menyesuaikan,” terang Yasonna, Selasa (21/9/2021).
Sebelumnya, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI bersama pemerintah telah menyepakati tiga RUU usulan pemerintah masuk ke dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2021, yakni RUU PAS, RKUHP, serta RUU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Semua gebrakan Jaksa Agung itu mungkin dianggap kontroversial oleh para koruptor. Namun harapan Burhanuddin sederhana.
“Saya hanya ingin menorehkan prestasi terbaik untuk bangsa,” jelasnya.(Jay)