Pelarangan Kegiatan Peringati West Papua Diprotes, Ini Pernyataan Sikap AMP Jakarta

IMG_20210702_191726

Jakarta, Sriwijaya Media – Pelarangan kegiatan memperingati West Papua ke- 50 tahun yang diselenggarakan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Kota Jakarta bersama Forum Rakyat Indonesia (FRI) untuk West Papua (WP) pada Kamis (1/7/2021) lalu tuai protes.

Akhirnya massa AMP dan FRI-WP mengeluarkan pernyataan sikap, di Jakarta, Jum’at (2/7/2021).

Ketua AMP Kota Jakarta Tolly Wanibo menegaskan setelah Negara West Papua didirikan oleh Rakyat Papua melalui Manifesto 1 Desember 1961 yang dinyatakan sah secara de facto dan de jure, kemudian telah disiarkan melalui Radio Belanda.

Itu merupakan revolusi demokratik yang diperjuangkan oleh Rakyat Papua Barat. Bangsa Papua Barat memiliki sebuah negara yang terbukti dengan adanya Bendera Negara Bintang Kejora, Lambang Negara Burung Mambruk dan Lagu Kebangsaan Hai Tanah Ku Papua, dan telah memiliki wadah legislative yaitu Dewan Niguinea.

Namun, Pemerintah Indonesia lewat Presiden Republik Indonesia pertama Ir Soekarno telah membubarkan Negara Papua Barat secara paksa dengan kekuatan militer dibawa komando Tiga Komando Rakyat (Trikora) yang diperintahkan di Alun-Alun Utara Yogyakarta dan dilaksanakan oleh Jenderal Suharto pada 19 Desember 1961.

“Sehingga bagi kami rakyat Papua, itu adalah pembungkaman terhadap kedaulatan Negara West Papua sekaligus melanggar Hukum HAM dan demokrasi di bumi ini,” terangnya.

Tahapan itu merujuk pada dekolonisasi sepihak antara Indonesia, Belanda, Amerika Serikat dan PBB tanpa melibatkan rakyat Papua Barat satu pun atau yang disebut New York Agreement.

Bahkan tidak pernah di pertanyakan tentang penentuan nasib sendiri, apakah rakyat Papua ingin merdeka atau bergabung sama Indonesia?.

Seketika terjadinya dekolonisasi West Papua atau aneksasi bangsa Papua Barat secara sepihak itu menghadirkan banyak gejolak dan konfrontasi yang mengecam rakyat Papua Barat melalui militer kolonial Indonesia.

Dari invasi militer kolonial memobilisasi di seluruh tanah air Papua Barat untuk mengadakan operasi militer. Semua itu dilakukan atas kepentingan kapitalisme global yang masih terus melakukan pengisapan sumber kekayaan alam di planet Bumi ini.

“Nasib bangsa papua setelah dianeksasi oleh pemerintah indonesia pada 1 Mei 1963, bangsa Papua hidup dalam tekanan militer indonesia, dipukul, disiksa, dipenjara bahkan dibunuh seperti binantang. Militer hadir ditanah Papua, hanya menciptakan kematian bagi bangsa Papua,’’ jelasnya.

10 tahun kemudian, proklamasi Negara Papua Barat ini dicetuskan oleh Seth Jafet Rumkorem sebagai Presiden Papua Barat, dan didampingi oleh Jakob Prai sebagai Ketua Senat (Dewan Perwakilan Rakyat), Dorinus Maury sebagai Menteri Kesehatan, Philemon Tablamilena Jarisetou Jufuway pada 1 Juli 1971 di Desa Waris, Kabupaten Jayapura, dekat perbatasan Papua New Guinea, yang dijuluki (Markas) Victoria, yang kemudian dijuluki dalam kosakata rakyat Papua Barat sebagai “Mavik” “dilaksanakan sebagai Kepala Staf Tentara Pembebasan Nasional (Tepenal), dan Louis Wajoi sebagai Komandan (Panglima) Tepenal Republik Papua Barat.

‘’Tetapi pemerintah indonesia masih keras kepala untuk tetap bertahan di dalam Negara West Papua, dengan sistem administrasinya yang ilegal dan secara nyata menjajah bangsa West Papua dari segala aspek kehidupan,’’ paparnya.

Pada tahapan khusus Rakyat Papua Barat masih merasakan traumatis atau memoria passionis dengan beragama operasi-operasi militer kolonial Indonesia di tanah Papua Barat dan praktek-praktek kekerasan itu terus mengenaskan secara terstruktur. Kekerasan militer kolonial Indonesai telah berlangsung sejak 19 Desember 1961 hingga 2021.

Untuk itu, pihaknya menuntut agar segera tutup Freport, tolak Otsus jilid 2, tolak PON di Papua, tolak pemekaran DOB di seluruh tanah Papua, tolak penambangan ilegal seluruh tanah Papua, tolak pembangunan Kodim di seluruh tanah Papua, tarik militer organik dan non organik dari seluruh tanah Papua, tolak pembangunan bandara antariksa di Biak, tuntaskan pelanggaran HAM ditanah Papua.

Selain itu, buka jurnalis asing masuk ke Papua, bebaskan Ruland Levi, Kelvin Molama, Viktor Yeimo juru bicara internasional PRP dan seluruh tahanan politik Papua, hentikan diskriminasi terhadap mahasiswa Papua, hentikan penangkapan sewenang-wenang terhadap aktivis Papua, berikan hak menentukan nasib sendiri (self-determination for West Papua).(Ilang)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *