Oleh :
Pradikta Andi Alvat, SH., MH.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD Negara RI Tahun 1945, negara Indonesia adalah negara hukum. Kemudian dikaitkan dengan Pasal 28A-J UUD Negara RI Tahun 1945 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), maka dapat disimplifikasikan bahwa negara hukum Indonesia memiliki goals terhadap pemenuhan dan penegakan HAM.
Secara teoritik-substantif, sebuah negara tidak akan memiliki legitimasi sebagai negara hukum jika tidak memiliki goals terhadap pemenuhan dan penegakan HAM. Salah satu tujuan dari adanya hukum dalam sebuah negara adalah mencegah terjadinya eigenrichting (main hakim sendiri) yang saripatinya mengarah pada aspek perlindungan HAM.
Meskipun secara formalitas-substantif, negara Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi HAM, namun dalam dimensi praksisnya, praktik-praktik main hakim sendiri hingga perampasan HAM masih kerap dijumpai. Salah satu wujudnya adalah eksistensi premanisme yang masih eksis dalam ruang sosial.
Premanisme secara etimologis berasal dari kata vrijman (bahasa Belanda) yang berarti orang bebas dan isme yang berarti kegiatan/paham/aliran. Oleh karena itu, premanisme dapat diartikan sebagai kegiatan seseorang/kelompok yang mendapatkan penghasilan dengan melakukan tindakan-tindakan bebas kehendak (melanggar hukum dan norma sosial) terhadap seseorang atau masyarakat.
Menurut kriminolog UNPAD, Yesmil Anwar, premanisme mengacu pada perbuatan-perbuatan yang memaksakan kehendak, yang melakukannya bisa siapa saja, baik masyarakat biasa hingga birokrat. Sejalan dengan pendapat Yesmil, penulis pun mendistingsi jenis premanisme menjadi 2 kelompok, yakni premanisme kerah merah dan premanisme kerah biru.
Premanisme kerah merah biasa kita kenal sebagai premanisme jalanan. Mengandalkan kekuatan fisik, nyali, dan militansi. Eksistensi premanisme kerah merah sendiri disebabkan oleh lemahnya penegakan hukum dan adanya beking dari kekuasaan.
Premanisme kerah merah dan kekuasaan selalu cenderung membangun hubungan respirokal-mutualistik, saling menguntungkan satu sama lain.
Dalam buku Politik Jatah Preman: Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia Pasca Orde Baru (2018), Douglas Wilson mengelaborasi bagaimana eratnya relasi premanisme dengan kekuasaan politik-ekonomi pasca orde baru, yang titik temunya adalah demi terjaganya eksistensi masing-masing.
Selain premanisme kerah merah, juga terdapat premanisme kerah biru. Premanisme kerah biru merupakan aksi premanisme ‘halus’ yang mengandalkan struktur kekuasaan, politik, dan intervensi materil untuk mendapatkan previlege dan keuntungan oportunis. Premanisme kerah biru biasanya bermain di sektor-sektor penting negara. Misalnya, mafia migas dan mafia tambang.
Jika premanisme kerah merah lebih mengarah pada tindakan kekerasan fisik dan intimidasi, yang secara dampak kerugian bersifat endemik (tidak meluas). Sedangkan, premanisme kerah biru lebih mengarah pada tindakan suap, yang secara dampak materil akan membawa kerugian besar pada kehidupan rakyat secara luas, misalnya kerusakan alam dan kerusakan lingkungan karena eksploitasi.
Dalam konteks hukum pidana, premanisme kerah merah diekpresikan melalui tindakan pemerasan dan pengancaman sedangkan premanisme kerah biru diejawantahkan dengan perbuatan berupa delik-delik yang berkaitan dengan suap maupun gratifikasi. Secara esensi, baik premanisme kerah merah maupun premanisme kerah biru pada dasarnya merupakan perbuatan yang bertentangan dengan prinsip negara hukum dan HAM.
Maka dari itu, selama premanisme (baik kerah merah maupun kerah biru) masih bercokol di Indonesia, selama itu pula pelanggaran hukum dan HAM akan terus terjadi. Negara terutama pemerintah di sini memiliki tanggungjawab konstitusional berdasarkan ketentuan Pasal 28I ayat (4) UUD Negara RI Tahun 1945 dalam hal perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM.
Tanggungjawab konstitusional tersebut dapat dipraksiskan dengan jalan memberantas premanisme baik premanisme kerah merah maupun premanisme kerah biru melalui reformasi birokrasi antikorupsi serta penegakan hukum secara konsekuen.