Kisah Adi Yanto, Penyintas Covid-19 : Perjalanan Mental dan Spiritual Melawan Virus Corona

IMG_20210629_125013

Kayuagung, Sriwijaya Media- Kabar penambahan kasus infeksi virus corona kian meningkat sejak Juni 2021. Dilansir dari laman resmi covid.19.go.id, penambahan kasus per Selasa (22/6/2021) capai 13. 668 kasus dengan total kasus hingga 2.018.113.

Faktanya, Adi Yanto, Plt Kabid Pelayanan Informasi Publik pada Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) OKI, Sumsel turut menyumbang data penambahan tersebut.

Bacaan Lainnya

Berawal dari sebuah perjalanan dinas ke Jakarta pada awal Juni lalu, ia mulai merasakan gejala tidak normal di tubuh. Meski telah menerapkan protokol kesehatan (prokes) dan telah mendapat vaksin, tetap saja virus corona adalah mahluk astral yang tidak kasat mata.

Dia tidak pernah memilih korbannya. Pelayan publik seperti dirinya memang dikategorikan pemerintah sebagai orang-orang yang rentan terpapar Covid-19 karena mesti beraktivitas bertemu dan melayani banyak orang.

Tenggorokan yang sakit, pegal dan linu serta demam mulai menyerang di hari ke dua pulang dari perjalanan itu. Puncaknya di malam Jum’at, ia tidak bisa memejamkan mata. Sekitar pukul 02.00 WIB dini hari masih terjaga. Badan yang panas, kulit terasa terbakar namun dingin menggerogoti hingga ke tulang.

Sang ibu yang malam itu kebetulan menginap di rumah turut terjaga. Diambilkannya minyak kayu putih, sang ibu memoleskan minyak kayu putih ke seluruh tubuhnya, tapi rasa sakit tak kunjung hilang.

Sekitar pukul 03.00 fajar, ia memberanikan diri mengambil dinginnya air wudhu. Ia bentangkan sajadah menunaikan salat tahajud dua rakaat, ditambah salat hajat seraya memunajatkan do’a agar tubuh sehat dan kembali beraktivitas sediakala.

Hingga azan subuh, rupanya sakit tak kunjung hilang. Pagi harinya ia putuskan untuk memeriksakan diri ke Dinas Kesehatan (Dinkes) OKI. Pagi itu pegawai baru usai melaksanakan apel.

Kepala Dinkes OKI Iwan Setiawan tampak masih berdiri di depan pintu masuk utama. Ia lalu mengutarakan maksud untuk di tes antigen.

Tak lama, petugas surveilans menyiapkan peralatan. Iapun diperiksa dengan satu kali colokan di rongga hidung. Sakit sangat, air mata keluar seiring rongga hingga hidung yang nyeri.

“Wah ini reaktif. Ada dua garisnya,” ujar Pak Mus, petugas surveilans Dinkes OKI yang biasa melakukan tracing selama pandemi Covid-19.

Bisa jadi orang ini yang paling banyak mengambil sampel Covid-19 di OKI.

“Biasa saja, jangan takut, saya sudah beberapa kali kena,” ujar Pak Mus sembari menguatkan dan memotivasi dirinya untuk tetap kuat dan semangat.

“Kalau Bapak berkenan, kami akan lakukan tracking ke rumah, dan langsung tes PCR untuk meyakinkan” ujar Mus.

Dia pun mengiyakan karena ia yakin dengan langkah yang tepat penularan Covid-19 klaster keluarga bisa dihindari.

“Tak bisa dibayangkan betapa susahnya kami yang memiliki anak-anak yang masih kecil, ditambah istri baru melahirkan dua pekan sebelumnya jika harus terpapar klaster keluarga,” lirihnya.

Setiba di rumah, istri dan ibu menyiapkan tempat karantina mandiri baginya. Sekitar pukul 09.00Wib pagi, petugas dari Dinkes mendatangi rumah dengan tenang agar tak menimbulkan kecurigaan tetangga.

Satu per satu orang dirumah di tes antigen. Mulai dari istri, ibu hingga pengasuh anak.

“Alhamdulilah hasilnya semua negatif. Keadaan ini membuat saya lebih tenang karena tidak menularkan ke anggota keluarga lain,” aku Adi.

Tepat dihari Jum’at pertama di bulan Juni, saat kaum laki-laki muslim bersiap salat Jum’at, ia masih terbaring lemah. Sekujur tubuh nyeri, persendian seperti terlepas dari ikatannya. Mulut pun mulai pahit. Dia mulai merasakan indra perasa mulai abai. Hidung pun sudah tidak berfungsi sama sekali.

Sekitar pukul 13.00Wib, adik yang bekerja di salah satu rumah sakit terbaik di Kota Palembang menyarankan agar dirinya mendapat perawatan dan menghindari penularan ke anggota keluarga lain.

Jarak antara Kayuagung-Palembang hanya sekitar 30 menit. Meski lewat tol, tentu ia harus menyetir sendiri dan enggan melibatkan orang lain guna menghindarkan penularan Covid-19.

Dengan kepala pusing dan badan yang demam, ia putuskan menyetir mobil sendiri. Untung saja lalu lintas sepi siang itu. Dia melaju dengan kecepatan rata-rata 60 hingga 80 Km per jam. Sesampai di rumah sakit, ia diarahkan ke Unit Gawat Darurat (UGD) untuk mendapat tindakan.

Dengan berbekal kit hasil swab antigen dari Dinkes, petugas rumah sakit melakukan tindakan medis. Tentu tidak mudah bagi rumah sakit untuk mengambil keputusan kalau pasien harus rawat atau cukup isolasi mandiri.

Diperlukan serangkaian tes untuk memastikan tindakan medis itu. Hampir 3 jam ia terbaring lemah di bad ruang UGD itu. Setelah dilakukan rapid tes dan CT Scan hingga rontgen, dia dipastikan positif Covid dan harus menjalani rawat inap.

Bagi penyintas Covid-19, tubuhnya bukan miliknya lagi. Virus yang menjalar di dalam tubuh benar-benar mengambil alih fungsi-fungsi tubuh. Meski merasa sehat dan bugar, virus itu bisa menimbulkan gejala-gejala tidak terduga. Sakit perut, mules, pusing kepala jadi keluhan sehari-hari.

Hari-hari pertama masa isolasi, dia tidak sendirian di rumah sakit itu. Sudah ada puluhan pasien lain yang lebih lama darinya. Usia mereka rata-rata di atas kepala 4 dengan berbagai keluhan yang diderita. Ada Pak Min (67), kakek renta yang terpapar Covid setelah menjalani operasi tempurung dengkulnya akibat terjatuh dari sepeda.

Bukan hanya dengkul sakit, kini Covid-19 juga merongrong tubuh rentahnya. Ada pula Pak Fuad (48) beserta temannya Ari (40), karyawan BUMN asal Jakarta yang terpaksa memperpanjang masa tugasnya di Palembang akibat terpapar Covid-19.

Dari keduanya, yang paling mengenaskan adalah Fuad, setiap malam dari balik tembok kamarnya, ia mendengar lengkingan batuk yang menyesakkan dada bagi yang mendengarkannya.

Begitupun dirinya. Tidak lebih baik. Setiap hari puluhan pil harus ia telan untuk mengeliminasi virus dari dalam tubuh dan mengurangi setiap gejala sakit. Mulai dari tablet seukuran jari hingga sirup batuk berasa legit. Setiap hari dokter dan perawat telaten merawat pasien meski dengan APD lengkap.

Dia tidak bisa membayangkan alangkah ribetnya mereka dengan kostum seperti astonot itu. Dokter Dini yang begitu ramah menyapa di balik layar handphone yang diarahkan seorang perawat laki-laki.

“Bagaimana keadaannya Pak? Hasil CT Bapak rendah sekali. Tapi imun Bapak lumayan baik. Kita lakukan lanjutkan perawatan 5 hari lagi kita tes lagi,” ujar Dokter Spesialis penyakit dalam itu.

Betul saja setelah Rapid tes kedua, CT Valuenyq masih rendah, hanya naik dua digit dari sebelumnya. Pada kasus Covid-19, nilai Cycel Threshold atau CT Value umumnya dilaporkan sebagai bagian dari pemeriksaan RT-PCR. CT value dilaporkan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis, infeksius pasien dan memperkirakan prognosis penyakit.

“Seharusnya Covid ini tidak kena di saya. Demikian pertanyaan-pertanyaan penyesalan datang dari pikiran. Ini adalah level duka. Dimana saya melihat segala sesuatu dari kaca mata duka. Kemudian lebih parah lagi, jika saya masuk ke level kesedihan. Saat otak sudah diframing dengan segala macam kesedihan. Ini adalah level pemakaman dalam kehidupan saya. Lalu satu level di atasnya, yaitu ketakutan. Dimana saya merasa khawatir, tidak ada lagi harapan tidak ada lagi pencerahan,” paparnya

Dia merasakan sedemikian terpuruk. Dia berpikir saatnya bangkit bertransformasi ke zona berbeda. Dia berusaha menyeberang ke zona energi positif. Di 200 atau 250 dimana bisa merasa netral. Dia harus mau bersahabat dengan Covid, bahkan mengalahkannya.

Dia harus berada pada posisi High Energy. Dia berusaha menetralisir diri. Setelah mendapatkan netralitas, diatasnya ada satu tingkat lebih tinggi yaitu kerelaan. Bukan hanya ikhlnya tetapi juga berusaha mengobati diri kita sendiri. Punya semangat. Lalu naikan lagi level ke level 350 dimana ia mulai bisa menerima apa pun yang terjadi.

Dia pikir jika mampu menaikkan lagi otak pada level 400, dimana secara logika otak akan bekerja mengalahkan ketakutan dan kekhawatiran, maka dia berhak memberikan hadiah nobel pada dirinya sendiri.

Dia berusaha mencapai level 500 menuju energi kebaikan, energi spiritual, yaitu rasa ikhlas, ketenangan, ketentraman, merasakan kedamaian berzikir, tafakur, beristirfar dan puncaknya berada pada level 700 enlight terang benderang, meski tubuh masih dikuasai Covid.

Hari ke 12 masa isolasi, kondisi dirinya semakin membaik. Sesekali ia membuka What Apps kantor untuk mengecek keadaan. Yang ringan-ringan saja memantau keseharian tim yang setiap hari tetap setia menyelesaikan tugas-tugas mereka meski ia tidak berada di tempat.

“Jika ada pesan yang kurang baik dan mengganggu proses penyembuhan, saya langsung close dan matikan saja. Saya masih ingin focus pada masa penyembuhan,” jelasnya.

Hari-hari itu lebih menyenangkan, badan mulai terasa ringan, pikiran tenang, demam dan pusing sudah lama berlalu. Nafsu makan pun sudah kembali seperti sediakala.

Pagi itu, dia menyempatkan diri menelpon ibu mengabarkan keadaan. Dari balik telpon, ia merasakan kebahagian mendengar keadaan yang makin membaik. Demikian dengan istri dan anak-anak yang turut mengungsi ke Palembang hampir dua pekan ini.

“Sekali-sekali istri mengirim video lucu anak perempuan kami yang baru berusia 2 tahun dan kakaknya yang berusia 7 tahun. Kegirangan mereka menambah semangat saya untuk sembuh,” ucapnya.

Dia mulai berzikir perlahan, tafakur menyesali diri, mengingat kekhilafan-kekhilafan, mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Waktu isolasi yang panjang adalah kesempatan untuk mempertajam sisi spiritual melalui kajian-kajian keagamaan online yang selama ini diabaikan. Mulai dari fikih wudhu yang benar, salat yang khusuk hingga hati yang ikhlas menjalani kehidupan selaku manusia.

Doa Al Maksurat yang dikirimkam Asisten I Setda OKI H Antonius Leonardo ia bacakan tiap pagi dan petang agar makin tenang. Terbesit dalam benaknya, mau Allah coba dengan ujian sehebat apalagi yang bisa membuat pintu hati terbuka. Fabiaya Ala Irobbikuma Tukaziban, demikian merdu penggalan surat Ar Rahman yang dibacakan Ustadz Hanan Attaki yang ia dengar agar bisa tidur lelap.

Berwudhu, munajat dan salat adalah momen terindah untuk introspeksi diri. Mungkin selama ini ada hal-hal yang salah dalam hidup, rasa syukur yang kurang, sikap pongah dan ujub selaku manusia. Tidak ada pekerjaan dan persoalan yang tidak bisa diselesaikan. Namun ketika mahluk Allah yang kecil, kasat mata bernama Covid-19 itu menggerogoti tubuh, semua hilang, semua percuma dan sia-sia. Kita hanyalah mahluk lemah tanpa daya upaya tanpa pertolongan-NYA.

Berjuang jadi penyintas Covid bukan soal fisik dan urusan medis saja, lebih jauh yaitu adalah peperangan jiwa, mental dan spiritual. Dengan ketenangan dan mendekatkan diri, penyintas Covid bisa menerima setiap kondisi dengan penuh keyakinan melalui komunikasi vertical melalui keyakinannya. Jika kita bisa mengambil hikmah selaku penyintas Covid-19, maka itulah kesembuhan spiritual sebenarnya.

“Kesendirian saat masa isolasi adalah dua sisi mata pisau berbeda. Jika salah menggunakannya, maka akan jadi pisau yang membunuh penyitas Covid itu sendiri. Namun jika berhasil, dia akan menjadi senjata ampuh untuk mengalahkan Covid-19. Lulus dan menjadi alumni Covid-19 bukanlah sebuah kebanggan, bukan juga kehinaan. Mengambil pelajaran dari setiap peristiwa paling utama. Bisa jadi Tuhan ingin menyentil kita agar kembali ke pada-NYA melalui mahluk tidak kasat mata bernama Covid-19,” kenangnya.(jay)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *