Oleh :
Pradikta Andi Alvat, SH., MH.
Indonesia adalah negara hukum, hal ini secara eksplisit tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Konsekuensi logis sebagai negara hukum tentunya mengandung implikasi-implikasi yuridis terkait pemenuhan aspek-aspek fundamental negara hukum baik dalam konstitusi, peraturan perundang-undangan organik, maupun dalam praktis-implementatif.
Dan dari sekian banyak aspek fundamental. negara hukum, hak asasi manusia (HAM) merupakan aspek yang memerlukan atensi lebih. Mengapa demikian? karena esensi dari pada negara hukum adalah perlindungan HAM.
Pemenuhan aspek-aspek fundamental negara hukum lain pada akhirnya juga bermuara pada perlindungan HAM. Misalnya, terkait pembagian kekuasaan pada lembaga negara, tujuannya adalah untuk meminimalisir otoritarianisme. Otoritarianisme sendiri adalah entitas yang mengancam perlindungan hak asasi manusia. Jadi, bisa disimpifikasikan bahwa aspek pembagian kekuasaan pada negara hukum muaranya adalah perlindungan HAM.
HAM sendiri adalah seperangkat hak yang melekat secara inheren pada diri setiap manusia sebagai karunia dari Tuhan yang wajib dihormati oleh setiap pihak, baik negara, hukum, maupun oleh sesama manusia demi harkat dan martabat manusia. Sebagai negara hukum, maka peraturan maupun mekanisme hukum yang ada di Indonesia harus akomodatif terhadap perlindungan HAM.
HAM dalam sistem peradilan pidana Indonesia, sistem peradilan pidana merupakan mekanisme hukum yang berfungsi untuk memproses dan menyelesaikan perkara pidana. Menurut Marjono Reksodipoetro, sistem peradilan pidana adalah sistem pengendalian kejahatan terdiri dari lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan (Lapas).
Dari definisi diatas, dapat kita simpulkan bahwa sistem peradilan pidana merupakan mekanisme untuk memproses suatu perkara pidana dengan pendekatan sistematik dan integralistik. Dari kepolisian (penyelidikan dan penyidikan), kejaksaan (penuntutan), pengadilan (peradilan), dan Lapas (pemasyarakatan narapidana), dalam perspektif HAM, konsekuensi tersebut melahirkan dua implikasi.
Pertama, implikasi rawan terjadinya pelanggaran HAM, mengingat proses penyelesaian perkara pidana harus melalui tahap sistematik kelembagaan, dimana setiap lembaga memiliki kewenangan hukum strategis yang cukup potensial melahirkan abuse of power dan rudapaksa HAM.
Kedua, implikasi protektif. Bahwa negara harus hadir dalam rangka memberikan perlindungan HAM di dalam sistem peradilan pidana. Berdasarkan penelahaan penulis, terdapat dua problematika dalam sistem peradilan pidana yang berafiliasi erat dengan praktik rudapaksa HAM dalam sistem peradilan pidana Indonesia.
Rudapaksa sendiri adalah istilah untuk menggambarkan bagaimana otoritas melakukan atau membiarkan terjadinya perampasan HAM.
Pertama, perampasan hak-hak hukum. Secara normatif, proses penegakan hukum pidana dalam bingkai sistem peradilan pidana sangat menjunjung tinggi asas due process of law. Due process of law adalah prinsip penegakan hukum yang menjunjung tinggi hukum dan HAM melalui pemenuhan hak-hak hukum secara proporsional. Dalam KUHAP hak-hak hukum bagi tersangka dan terdakwa secara normatif terjamin dalam Pasal 50 hingga Pasal 64, seperti: hak untuk memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik (Pasal 52) dan hak untuk mendapat bantuan hukum (Pasal 54 dan 55).
Secara normatif, memang hak-hak hukum sebagai konsekuensi due process of law telah terjamin dalam KUHAP, namun dalam aplikasinya masih banyak dijumpai praktek-praktek penegakan hukum yang mengingkari prinsip due process of law khususnya dalam tahap pemeriksaan di kepolisian. Lebih spesifik lagi berbicara mengenai perampasan hak hukum bagi tersangka terkait hak untuk memberikan keterangan secara bebas pada penyidik, kesewenang-wenangan dalam penangkapan dan penahanan, hingga praktik kekerasan. Dalam realitasnya, memang kerap terjadi tindak kekerasan dan intimidasi yang dilakukan oleh polisi ketika melakukan proses penyidikan.
Menurut Putri Kanesia, Kepala Bidang Advokasi KontraS, kasus-kasus kekerasan di ruang interogasi kerap terjadi karena polisi masih menganggap penyiksaan dan intimidasi sebagai cara efektif untuk memperoleh keterangan dari tersangka.
Disisi lain, penegakan hukum terhadap oknum polisi yang melakukan tindak kekerasan dan intimidasi dalam penyidikan juga minim. Kemudian dari sisi eksternal, minimnya pendampingan hukum turut menjadi faktor pelengkap mengapa kekerasan dan intimidasi pada tahap penyidikan kerap terjadi.
Menurut catatan dari KontraS, sepanjang tahun 2011-2019 telah terjadi 445 kasus penyiksaan yang dilakukan oleh polisi terhadap tahanan.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) juga memotret hal serupa. Dalam laporan hukum dan hak asasi manusia 2019 dan proyeksi 2020, YLBHI merilis 169 kasus pelanggaran terhadap prinsip fair trial sepanjang tahun 2019.
Dari data tersebut, polisi merupakan aktor yang paling banyak melakukan pelanggaran, yakni sebanyak 58%. Pelanggaran terhadap prinsip fair trial oleh polisi terutama terjadi pada tahap penangkapan dan penahanan. Paling aktual, Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia merilis bahwa telah terjadi penahanan dan penangkapan secara sewenang-wenang oleh polisi kepada 2.643 orang di 10 provinsi terkait unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja pada 8 Oktober 2020 lalu.
Jumlah ini bahkan kemungkinan besar meningkat jika ditotal pada 34 provinsi. Dalam perspektif HAM, praktik kekerasan yang dilakukan oleh polisi dalam tahap penyidikan serta kesewenang-wenangan dalam penangkapan dan penahanan bertentangan dengan prinsip HAM yang tertuang dalam konstitusi (Pasal 28 G ayat 2 dan Pasal 28 I ayat 1) dan Konvensi Anti-Penyiksaan yang diratifikasi oleh Indonesia dengan UU Nomor 5 tahun 1998.
Kedua, over capacity dan prisonisasi dalam lembaga pemasyarakatan (Lapas). Menurut data dari Kemenkumham pada 2018 lalu, over capacity lapas di Indonesia mencapai 203%. Kapasitas Lapas secara nasional hanya bisa menampung 126.164 narapidana, sedangkan jumlah narapidana sebesar 256.273 orang.
Tahun 2020 ini pun hampir semua lapas di Indonesia masih mengalami over capacity, tidak ada perubahan signifikan. Lapas dalam sistem peradilan pidana sendiri memiliki fungsi strategis dalam rangka resosialisasi dan pembinaan narapidana. Sayangnya, fungsi tersebut tidak bisa berjalan optimal karena over capacity. Over capacity membuat keadaan lapas jauh dari kondisi yang manusiawi, tidak sehat, dan marak praktik prisonisasi yang bertentangan dengan HAM, seperti: perploncoan, perbudakan, penganiayaan, hingga pelecehan seksual. Realitas ini menyebabkan lembaga pemasyarakatan gagal menjadi institusi resosialisasi narapidana, malah sebaliknya justru menjadi tempat bagi perampasan hak-hak asasi manusia.
Solusi
Pertama, terkait praktik perampasan hak hukum ketika proses penyidikan di kepolisian terdapat dua solusi untuk mengatasinya. Pertama, harus ada perubahan kultural dalam tubuh Polri untuk menjauhi praktik-praktik yang bertentangan dengan asas due procces of law. Polri harus profesional dengan menjunjung tinggi penegakan hukum berdasarkan hukum. Peran pimpinan polri, propam, dan kompolnas harus dioptimalisasi agar para penyidik polisi bekerja on the track.
Kedua, masifisitas bantuan hukum struktural. Bantuan hukum struktural berfungsi memberikan pendidikan dan pendampingan hukum kepada klien agar tidak terjadi perampasan hak-hak hukum. Negara harus hadir di sini melalui support anggaran dalam APBN/APBD agar implementasi bantuan hukum struktural tumbuh secara masif. Selain itu, peran dan awareness dari akademisi hukum, dosen, hingga mahasiswa hukum diperlukan untuk memperkuat praksis advokasi hukum.
Advokat juga harus lebih optimal dalam melaksanakan bantuan hukum pro-bono, agar semakin banyak masyarakat khususnya yang miskin untuk mendapatkan akses bantuan hukum.
Terkait prisonisasi dan over capacity lapas, solusinya adalah optimalisasi pendekatan restorative justice sebagaimana tertuang dalam Perkap Nomor 6/2019, optimalisasi pidana percobaan (sepanjang memenuhi syarat yuridis), dan pembangunan lapas baru yang representatif-proporsional.
Pada prinsipnya, lembaga pemasyarakatan harus direstorasi menjadi tempat yang efektif untuk menjalankan peran resosialisasi narapidana. Akhir sekali, 10 Desember adalah hari peringatan Hari HAM Internasional. Momentum ini hendaknya menjadi bahan refleksi dan koreksi bersama bagaimana kita membangun peradaban hidup dan kehidupan hukum yang menjunjung tinggi HAM.