Oleh : Pradikta Andi Alvat SH., MH.
Penulis buku “Hukum dan Daulat Rakyat Sebuah Ironi”
Hukum adalah cerminan jiwa bangsa “Volksgeist” yang bersumber dari adat istiadat serta nilai-nilai luhur yang dianut oleh suatu kelompok bangsa. Oleh karena itu, tiap-tiap bangsa akan memiliki jiwanya sendiri yang tentu saja berbeda dengan bangsa lain.
Perbedaan “Volksgeist” inilah yang idealnya berimplikasi pada perbedaan cara berhukum suatu bangsa dengan cara berhukum bangsa lain. Sebuah bangsa A yang memiliki jiwa bangsa B tidak mungkin cocok manakala harus mengikuti cara berhukum bangsa lain yang memiliki jiwa bangsa D. Demikian dikatakan Friedrich Karl Von Savigny seorang ahli sejarah hukum asal Jerman.
Karl Von Savigny menambahkan bahwa hukum itu pada hakikatnya tidak diciptakan, namun lahit dan tumbuh berkembang bersama masyarakat, dan binasa manakala masyarakat telah kehilangan kepribadiaannya.
Menurut Savigny, hukum bukanlah formalitas peraturan perundang-undangan, melainkan nilai-nilai yang hidup dan diyakini oleh masyarakat dalam sebuah bangsa. Itulah yang dinamakan jiwa bangsa “Volksgeist” yang memiliki ciri khasnya tersendiri dan menjadi serat pembeda antara satu bangsa dengan bangsa yang lain.
Robert B Seidman dalam penelitiannya pada tahun 1972 berhasil mengajukan sebuah dalil berbunyi: “The law of non-transferabillity of law”, yang pada prinsipnya mengatakan bahwa hukum suatu bangsa tidak bisa serta merta diambil begitu saja oleh bangsa lain, mengingat terdapat nilai-nilai sosio-kultural, struktur sosial dan historis-politis yang berbeda antara satu bangsa dengan bangsa yang lain.
Menurut Bryan Z Tamanaha, hukum dan masyarakat memiliki ikatan keterkaitan yang sangat erat.
Menurut dia, hukum dan masyarakat memiliki bingkai hubungan yang dinamakan the law-society framework, dimana bingkai hubungan tersebut menghasilkan dua hubungan konkret.
Pertama, the mirror theory, yang berarti hukum adalah cerminan masyarakat. Disini hukum dipandang sebagai pengejawantahan atau perwujudan ekspresi dari nilai-nilai, tradisi, dan keyakinan yang hidup dalam masyarakat.
Kedua instrumentalis function, bahwa hukum itu berfungsi untuk menjaga dan memelihara nilai-nilai, kebudayaan, ketertiban, dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Sehingga dapat dipahami bahwa idealnya hukum itu tidak bisa dipisahkan dari basis sosial secara kontekstual yakni masyarakat, memisahkan hukum dengan basis sosialnya, akan menjadikan hukum tidak memiliki daya keberlakuan soziologische geltung (sosiologis) dan filosofische geltung (filosofis).
Akibatnya, hukum yang demikian hanya akan memiliki daya keberlakuan yuridis atau jurisdische geltung saja, yang kemudian membuat keberlakuan hukum terasa kaku, represif dan cenderung tidak dapat memberikan keadilan substantif kepada masyarakat.
Mengapa Keadilan Susbtantif di Indonesia Sulit Mawujud?
Hukum hadir sebenarnya untuk siapa sih? apakah untuk manusia? atau hukum hadir untuk dirinya sendiri?, hukum itu untuk menciptakan keadilan atau kepastian hukum?. Ontologis berpikir mengenai hukum tersebut akan memiliki derivasi paradigma berpikir yang kompleks dalam memahami dan memaknai hukum.
Bagi pihak yang memahami hukum hadir untuk dirinya sendiri (otonom) dan menjamin kepastian hukum, maka hukum hanya dipandang sebagai peraturan formal yang rules dan logic.
Sebaliknya bagi pihak yang memahami hukum hadir untuk manusia dan menciptakan keadilan, maka hukum tidak sekadar dipandang sebagai peraturan formal yang rules dan logic, namun juga behaviour yang kuyup dengan ide, rasa, nilai-nilai, dan kearifan lokal basis sosialnya.
Daniel S Lev, seorang professor ilmu politik dan seorang Indonesianis pernah berujar bahwa proses hukum di Indonesia hanya ditujukan untuk mengejar nilai hukum procedural yakni terpenuhinya ketentuan-ketentuan prosedural yang termaktub dalam peraturan formal, bukan untuk mengejar nilai hukum substantif yang berkaitan dengan asumsi-asumsi fundamental mengenai distribusi dan penggunaan sumber-sumber didalam masyarakat khususnya terkait apa yang dianggap adil dan tidak oleh masyarakat.
Padahal substansi Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dalam setiap eranya, baik dari UU No 14/1970, UU No 4/2004 hingga terbaru UU No 48/2009 selalu mengamanatkan bahwa penegak hukum dalam hal ini hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Hal ini mengindikasikan bahwa goals dari pada aktivitas berhukum kita adalah untuk mendapatkan nilai keadilan substantif bukan sekadar nilai keadilan formal-prosedural, namun dalam prakteknya, khususnya dalam hukum publik (pidana) hal demikian itu hanya nampak sekadar macan kertas.
Menurut Prof Suteki, bangsa Indonesia adalah bangsa oriental yang memiliki adat budaya ketimuran dan kepribadian neo-mistisme, yang berimplikasi pada cara berpikir, berperilaku dan memahami sesuatu dengan mengutamakan rasa, kolektivitas, dan makna yang kesemuanya itu tercakup dalam Pancasila sebagai jiwa bangsa.
Modal sosial inilah yang seharusnya ditransplantasi ke dalam cara berhukum di Indonesia, cara berhukum di Indonesia harus diletakkan guna mencari keadilan substantif bukan keadilan formal-prosedural, keadilan substantif adalah keadilan yang tidak dihasilkan dari sekadar penerapan ketentuan formal-prosedural, namun keadilan yang digali dari rasa dan hati nurani guna mewujudkan makna.
Namun realitanya, sebagaimana saya singgung diatas, cara berhukum di Indonesia justru lebih mengutamakan nilai keadilan formal prosedural dengan paradigma positivisme yang rules dan logic yang merupakan ciri khas bangsa barat, dalam perspektif positivisme, hukum hanya sekadar mengabdi kepada kepentingan dirinya sendiri yang terpisah dengan basis sosialnya yakni masyarakat.
Dalam perspektif positivisme hukum, cara untuk memperoleh keadilan adalah dengan cara menegakkan hukum formal secara rigid.
Disatu sisi, produk-produk hukum peninggalan Belanda sendiri masih digunakan hingga saat ini dan hal itu berimplikasi kuat dalam mempengaruhi cara berhukum kita yang kaku dan formalistik.
Cara berhukum yang kaku dan mendewakan rules dan logic demikian akan membuat hukum tampil sebagai mesin otomat yang kering dengan basis socio-legalnya. Cara berhukum yang demikian itu cenderung hanya akan melahirkan keadilan formal-prosedural bukan keadilan substantif, karena keadilan substantif sendiri tidak bisa dipasung dalam pasal-pasal formal yang statis, melainkan berkembang dinamis dalam kompleksitas kasuistis.
Masyarakat Indonesia sebagai bangsa oriental memiliki adat budaya ketimuran dan kepribadian neo-mistisme yang mengutamakan rasa, kolektivitas, dan makna sebagai pengejawantahan dari Pancasila sebagai jiwa bangsa tidak akan cocok jika menggunakan cara berhukum ala bangsa Barat (positivisme hukum) yang begitu menonjolkan rules dan logic.
Oleh karenanya, positivisme hukum yang menjadi paradigma berhukum kita selama ini dalam prakteknya seringkali mencederai rasa keadilan masyarakat dan membuat masyarakat Indonesia menggerutu seraya berkata “Lho kok ngono gak adil iki”.
Beberapa kasus yang mencederai rasa keadilan masyarakat, misalnya perkara Lanjar Sriyanto, seorang petani miskin asal Karanganyar yang diputus bersalah oleh Mahkamah Agung (MA) karena kelalaian berkendara menyebabkan istrinya meninggal dunia. Dia dihukum percobaan 2 bulan 14 hari karena melanggar pasal 359 KUHP.
Lanjar Sriyanto yang sudah kehilangan istri tercintanya, masih “terpaksa” mengikuti sejumlah prosedur hukum dari penyidikan, penuntutan, persidangan di Pengadilan Negeri (PN), persidangan banding di Pengadilan Tinggi (PT), hingga persidangan kasasi di MA.
Apakah itu adil? seorang suami yang telah kehilangan istrinya tentu mengalami kesedihan mendalam, masih harus menjalani prosedur hukum panjang nan menguras energi. Apalagi jika dikaitkan lebih jauh dengan kondisi anak Lanjar Sriyanto yang telah kehilangan ibunya. Lalu siapa yang mendidik dan memberi nafkah anak Lanjar Sriyanto, jika Lanjar Sriyanto tengah menjalani prosedur hukum nan panjang dan berbelit. Hal ini tentu menjadi peristiwa mencabik-cabik rasa keadilan masyarakat.
Perkara Lanjar Sriyanto diatas hanya sebagian kecil dari banyak contoh kasus ketidakadilan hukum di negeri ini yang disebabkan karena hukum difungsikan secara kaku, rules, dan logic, tanpa memperhatikan rasa dan makna.
Seharusnya menegakkan hukum tidak sekadar menegakkan prosedur dan menerapkan pasal-pasal formal melainkan juga memperhatikan tujuan filosofis dari aktivitas penegakan hukum itu sendiri. Menegakkan hukum harusnya dipahami sebagai aktivitas bringing to justice bukan sekadar aktivitas formal-prosedural. Sehingga ketika dalam penegakan hukum, hukum yang ada terasa tidak adil, maka penegak hukum harus berani melakukan apa yang dinamakan “rule breaking” atau penerobosan hukum untuk menghadirkan keadilan hakiki (substantive justice).
Menurut Satjipto Rahardjo rule breaking digunakan dengan 3 cara. Pertama, mempergunakan kecerdasan spiritual atau dalam bahasa Satjipto disebut mesu budi. Kedua, pencarian makna lebih dalam, dalam konteks disiplin hermeneutika disebut sebagai verstahen method. Ketiga, hukum hendaknya ditegakkan tidak berdasarkan prinsip logika saja, melainkan dengan perasaan, kepedulian, dan keterlibatan (comppasion) pada kaum yang lemah dan marjinal.
Rule breaking dalam pandangan saya sendiri memiliki dua segi. Pertama, segi positif, makna rule breaking adalah mencari keadilan dengan jalan menemukan asumsi-asumsi fundamental didalam masyarakat dan hati nurani mengenai apa yang adil dan apa yang tidak adil untuk diterapkan dalam suatu kasus.
Sedangkan dari segi kedua yakni segi negatif, makna rule breaking adalah dengan jalan tidak menegakkan hukum yang berlaku demi tegaknya keadilan substantif (the non enforcement of law for a substantive justice).
Maka dari itu, kedepan paradigma dan cara berhukum di Indonesia harus disesuaikan dengan basis sosial kontekstualnya yakni masyarakat Indonesia yang memiliki jiwa bangsa Pancasila. Masyarakat Indonesia sebagai bangsa oriental dengan adat budaya ketimuran (neo-mistical) yang mengedepankan rasa, kolektivitas, dan makna tidak akan cocok jika diterapkan dengan cara berhukum ala bangsa Barat yang mengedepankan rules, ratio dan logic.
Jika itu yang diterapkan (seperti saat ini), maka keadilan substantif yang menjadi tujuan mulia dari hukum akan sulit mawujud dalam iklim dan dinamika berhukum kita.
Werner Mensky dalam bukunya “The Comparative Law in a Global Context”, sebenarnya sudah mensinyalir bahwa cara berhukum bangsa Asia-Afrika itu berbeda dengan cara berhukum bangsa Barat.
Bangsa Barat dengan tingkat kohesi sosial rendah dan minim nilai-nilai kearifan lokal memang cocok dengan pendekatan positivisme hukum. Namun untuk negara-negara di Asia dan Afrika (termasuk Indonesia) yang masih kuyup dengan nilai-nilai religi, kearifan lokal dan tingkat kohesi sosial yang relatif tinggi tidak akan cocok jika hanya didekati dengan pendekatan positivisme hukum semata melainkan harus dilakukan multifact approach yang disebut dengan legal pluralism, yang mempertautkan antara hukum positif (state law), aspek kemasyarakatan (socio-legal), dan natural law (morality, etic, dan religion) dalam melihat dan mengelaboratif sebuah peristiwa hukum guna mendapatkan perpect justice atau keadilan paripurna/ substantif.
Sebagaimana dijelaskan diawal tulisan ini bahwa hukum sejatinya adalah cerminan jiwa bangsa “volksgeist”, maka Pancasila sebagai jiwa bangsa Indonesia sekaligus leitzern (bintang pemandu) idealnya harus selalu menjadi ruh, landasan dan tercermin dalam segala aktivitas pembentukan maupun penegakkan hukum kita.
Namun sayangnya, hal demikian itu kurang mendapatkan porsi prioritas, akibatnya cara-cara berhukum dengan nafas Pancasila misalnya seperti restorative justice yang memiliki cita perdamaian, keseimbangan, partisipatif, dan musyawarah mufakat tidak banyak maujud dalam substansi hukum kita.
Kita cenderung mendewakan pendekatan hukum secara positivis yang kaku dan formalistik, yang pada hakikatnya semakin menjauhkan nilai keadilan substantif dalam kehidupan berhukum kita yang memiliki kontur masyarakat pluralistik.
Jalan Keluar: Paradigma Berpikir
Diatas kita telah mengetahui bahwa penyebab sulitnya keadilan substantif maujud dalam kehidupan berhukum kita adalah karena cara berhukum kita cenderung berparadigma positivis, lebih mengutamakan kepastian hukum dari pada keadilan, dan itu adalah cara berhukum bangsa-bangsa Barat yang sejatinya tidak kompatibel dengan jiwa bangsa masyarakat Indonesia yang lebih mengedepankan rasa, kolektivitas, dan makna dari pada sekedar rules, ratio, dan logic.
Bangsa Indonesia adalah bagian dari bangsa Asia (oriental) yang masih sarat dengan nilai-nilai kearifan lokal, tradisi, budaya serta kontur masyarakat yang pluralistik, dengan melihat realitas sosial yang ada, maka cara berhukum negara ini yang tidak bisa bertumpu pada paradigma positivis semata. Namun harus bertumpu pada multifact approach: legal pluralism dimana mempertautkan antara hukum positif, aspek kemasyarakatan, dan natural law yang berisikan etika, moral, dan religi.
Dalam menyikapi sebuah peristiwa hukum, penegak hukum harus memperhatikan ketiga aspek tersebut sebagai kompleksitas legal reasoning serta tolok ukur untuk menyelesaikan perkara dan memberikan keadilan. Jika itu bisa dilakukan, maka penegak hukum tidak hanya berperan sekedar sebagai corong Undang-Undang (la bouche de la loi), namun bermetamorfosa sebagai social engineer, yang berperan bukan sekadar sebagai pemutus masalah (yang terkadang menambah masalah). Namun berperan sebagai penyelesai masalah yang berdampak positif bagi struktur sosial.
Maka dari itu, yang harus diperbaiki kedepan adalah dengan jalan merubah paradigma berpikir para pihak yang berkecimpung dalam hukum baik penegak hukum, pembuat hukum, akademisi hukum hingga mahasiswa fakultas hukum agar memiliki paradigma berpikir progresif dengan landasan Pancasila guna memfungsikan hukum untuk menggali dan mendapatkan nilai hukum substantif, bukan sekadar nilai hukum formal-prosedural.
Dengan memiliki paradigma berpikir demikian, maka logika dan kompleksitas berpikir dalam menyikapi sebuah peristiwa hukum tentu tidak akan bersifat parsial sekadar hukum positif, tetapi juga memperhatikan aspek sosiologis dan juga aspek filosofis.
Hal inilah yang saya kira menjadi sulit, bagaimana menyatukan visi kolektif mengenai hukum progresif yang lebih menitikberatkan pada nilai keadilan substantif dari pada nilai keadilan formal-prosedural tersebut menjadi sebuah satu kesatuan paradigma yang utuh dalam pembentukan maupun penegakkan hukum kita.
Paradigma berpikir senafas dari penegak hukum, pembuat hukum, akademisi hukum hingga mahasiswa hukum menjadi aspek penting guna membuat pembentukan substansi hukum, aktivitas penegakan hukum hingga logika dan behaviour dalam memaknai hukum sarat dengan semangat progresifitas bertujuan untuk menggali dan mendapatkan nilai keadilan substantif.
Namun jika kita mau berkontemplasi, menundukkan ego sembari melihat dan merefleksi wajah dunia hukum kita yang tak kunjung cerah tentu semangat kolektif itu tidak akan sulit untuk disatukan.