Palembang, Sriwijaya Media – Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN) Direktorat Jenderal Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang melaksanakan Forum Grup Discusion (FGD) III terkait fasilitasi penertiban indikasi pelanggaran pemanfaatan ruang di Sumsel tahun 2020, bertempat di Aula Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga dan Tata Ruang (PUBM dan TR) Sumsel, Selasa (1/12/2020).
Hadir dalam acara tersebut dari Kementerian ATR/BPN bidang jabatan Fungsional Penyidik Gunung Hariyadi Ndaru Nugroho, Asisten III bidang Administrasi dan Umum Setda Sumsel Prof Dr HM Edwar Juliartha, Asisten II bidang Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan Setda Palembang Ansori, dan tamu undangan lainnya.
Asisten III bidang Administrasi dan Umum Setda Sumsel Prof Dr HM Edwar Juliartha menyatakan peranan sangat strategis bagaimana tata ruang itu dimaknai sebagai suatu pemanfaatan yang sesuai dengan site plan, atau lebih luas yakni RTRW dan sebagainya.
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 26/2007, tentu ini berkaitan dengan sistem proses perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian.
“Dalam konteks ini, penertiban dan pelanggaran merupakan bagian cara untuk kita bisa memastikan bahwa tata ruang itu sesuai dengan apa yang diperuntukkan,” ujarnya.
Bukan itu saja, sumber daya yang sifatnya materil juga menjadi bagian dari proses implementasi dari suatu kebijakan. Bagaimana mau menertibkan sesuatu, kalau dari sisi birokrasi dan sumber daya saja kurang.
Sementara itu, Kementerian ATR/BPN bidang Jabatan Fungsional Penyidik Gunung Hariyadi Ndaru Nugroho menambahkan ini merupakan FGD hasil audit Kementerian ATR/BPN tahun 2019. Dimana untuk audit di koridor Palembang Jakabaring. Karena ada indikasi sudah terjadi perubahan pemanfaatan ruang didalam pembangunan di Kota Palembang.
“Kita temukan ada 137 titik pelanggaran tata ruang. Kita lihat berdasarkan Peraturan daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Palembang Nomor 12/2012 tentang RTRW Kota Palembang tahun 2012-2032,” tuturnya.
Menurut dia, di Undang-Undang (UU) tahun 2007 tentang tata ruang ada danksi administrasi dan pidana, diberikan sanksi administrasi, apakah denda atau penggantian lahan, atau pencabutan izin.
Dia mrngilustrasikan pihaknya menghitung ada 10 hektar dari luas pola ruang yang dipakai oleh Hotel Santika Bandara, itu Ruang Tata Hijau (RTH) dan rawa konservasi tidak boleh ada bangunan disana.
“Terutama rawa konservasi, karena ini fungsinya untuk mengamankan lingkungan, supaya tidak memberikan efek negatif warga sekitar seperti banjir, dan kekeringan,” terangnya.
Lanjutnya, Pemkot merevisi UU No. 6 tahun 2007 kalau RTRW bisa direvisi, tapi bukan untuk pemutihan. Pemkot jangan sampai menerapkan melanggar tata ruang di kawasan bandara. Pihaknya sudah menyurati Pemkot, serta ke Pemprov terkait dengan adanya temuan auditnya. Sedangkan tanggapan dari pemkot, mereka akan menindaklanjutinya, serta sepakat sanksi apa yang akan dijatuhkan Pemkot.
“Kita berharap ke Pemkot soal apa yang mereka rencanakan terkait RTRW agar dipatuhi. Jangan sampai hanya rencana saja, tanpa ada pengawasan dan tindakan,” tegasnya.(ton)