Oleh
Kuasa hukum korban jamaah First Travel TM Luthfi Yazid
JAKARTA-Para hakim agung di Mahkamah Agung (MA) yang terdiri dari Eddy Army, Margono dan Andi Samsan Nganro memutuskan menolak kasasi yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) maupun terdakwa para boss First Travel (FT) yakni Andhika Surachman (AS), Anniesa Hasibuan (AH) dan Kiki Hasibuan (KH).
Putusan ini sama seperti dalam putusan Pengadilan Negeri (PN) Depok Jawa Barat. Dengan putusan kasasi MA tidak berarti persoalan menjadi selesai. Persoalannya ialah, bagaimana solusi bagi para jamaah yang jumlahnya mencapai 63.000 yang sudah menyetor ke FT dan tidak dapat berangkat umroh? Bagaimana dengan tanggungjawab negara? Mengapa para hakim hanya berpikir legalistik-positivistik dan tidak dapat menangkap ruh keadilan yang dituntut masyarakat? Bagaimana dengan asset FT yang dirampat negara? Mengapa asset FT yang merupakan uang jamaah dirampas negara, apakah itu uang korupsi sehingga harus dirampas? Sampai disini dapat disimpulkan bahwa negara, petinggi FT dan penegak hukum telah mendholimi hak-hak ribuan jamaah. Mengapa?
Pertama, konstitusi UUD 1945 mewajibkan negara untuk menjamin warganya dalam melaksanakan aktivitas keagamaannya, termasuk melaksanakan umroh (lihat Pasal 28 dan 29 UUD 1945).
Konstitusi adalah sebuah kontrak antara rakyat dan negara yang harus dipatuhi, dan pelaksanaan aktivitas keagamaan adalah sebuah fundamental rights (hak fundamental) dari warganya. Artinya, Negara mempunyai tanggungjawab terhadap pemenuhan hak-hak publik. Ketika Negara lalai melindungi fundamental rights maka ini adalah pelanggaran yang serius oleh Negara.
Kedua, dari awal mengapa pemerintah memperpanjang ijin FT jika pemerintah sudah tahu bahwa perusahaan FT tidak professional dan sudah tidak sehat secara keuangan? Selain itu, dimana fungsi pengawasan pemerintah terhadap Perusahaan Penyelenggara Ibadah Umroh (PPIU)? Cukupkah pemerintah hanya memberikan ijin pendirian perusahaan FT, memberikan Tanda Daftar Perusahaan (TDP), SIUP dan sejenisnya tanpa memberikan pengawasan?
Ketiga, ketika kasus FT muncul dan para boss FT dijadikan tersangka pemerintah seperti kebakaran jenggot membentuk Satuan Tugas (Satgas) yang terdiri dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kementerian Agama (Kemenag), Mabes Polri dan sebagainya, tapi apa hasil kerja mereka? Begitu juga Mabes Polri membentuk Crisis Center sehingga para jamaah dari seluruh tanah air berbondong-bondong “dihibur” untuk mendaftarkan diri, menyerahkan bukti pembayaran dan sebagainya, namun apa hasilnya? Begitupun daftar asset FT yang disita Mabespolri maupun Jaksa Penuntut Umum (JPU) tak pernah ada keterbukaan yang terang benderang.
Keempat, Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Agama No 589 tahun 2017 yang salah satu isi keputusannya adalah mengembalikan seluruh uang jamaah dan atau memberangkatkan jamaah untuk umroh tanpa dipungut biaya tambahan apapun. Mana buktinya? Tidak ada uang yang kembali dan tidak ada yang berangkat. Yang kasihan adalah para agent. Mereka korban dua kali, selain diminta setor uang sebagai agent, dijanjikan diberi fee tapi tak pernah direalisasikan dan para agent juga jamaah yang menyetor ke rekening FT.
Kelima, asset FT adalah uang jamaah, dan bukan uang korupsi tapi mengapa dirampas dan atau disita Negara? Kalau asset tersebut dari hasil kejahatan dari uang Negara, maka boleh saja disita. Asset FT adalah asset jamaah, asset publik, kok diambil Negara? Dimana logikanya? Inilah kegagalan epistemik (epistemic failure of thought) cara berpikir hakim dalam memahami konsep penyitaan!
Keenam, mengapa dalam kasus yang lain Negara menalangi (membailout) kerugian seperti kasus PT Lumpur Lapindo di Sidoarjo atau PT Bank Century? Bukankah FT juga perusahaan atau PT seperti juga PT Bank Century dan PT Lapindo? Mengapa harus berbeda, dan bukankah korban FT justeru lebih massive dan menyangkut banyak rakyat kecil dengan jumlah kerugian sekitar Rp 900 M? Bukannya juga dapat diambil analogi saat pemerintah mengambil tanggungjawab melalui Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk uang masyarakat? Sebagai analogi, sebenarnya dapat dipakai konsep restorative justice (meskipun ini konsep pemidanaan untuk anak) oleh Negara. Artinya Negara mencarikan solusi dengan memberikan kompensasi misalnya atau mencari jalan keluar agar para jamaah dapat berangkat umroh. Umpamanya, Negara melobi pemerintah Saudi Arabia agar visa ke Saudi gratis, tidak perlu meningitis, akomodasi dibantu, atau untuk penerbangan tertentu dari Jakarta ke Madinah dapat diperbantukan dan lain-lain.
Ketujuh, jika Negara sikapnya masih seperti ini, tidak ada reformasi total, baik secara regulasi, institusi maupun operasional, maka bukan mustahil kejadian serupa masih akan terulang kembali. Dalam keadaan seperti ini sebenarnya Negara telah gagal melindungi semangat keberagamaan warganya sebagaimana diamanatkan konstitusi.(rel)