Oleh :
Arafah Pramasto, S.Pd.
(Pendamping Sosial & Penulis Buku Kesejarahan)
Pada tanggal 23 Juli lalu, proses pembangunan Light Rapid Transit (LRT) atau “Kereta Api Ringan” telah selesai. Proyek transportasi umum dalam menyongsong Asian Games tanggal 18 Agustus mendatang telah dimulai sejak November 2015 silam. Penyelenggaraan perhelatan tingkat internasional di Palembang bukanlah kali pertama. Sebelumnya, pada tahun 2011 Palembang telah menjadi salah satu tuan rumah South East Asian Games (SEA Games) / Pesta Olahraga Negara-Negara Asia Tenggara. Sebelum dilaksanakannya ajang olahraga SEA Games pun, tepatnya sejak Januari 2010, sistem transportasi Bus Rapid Transit bernama Trans Musi juga diperkenalkan sembari mengikuti penambahan fasilitas-fasilitas olahraga yang dikenal sebagai Jakabaring Sport City (JSC). Secara fisik, Palembang tak diragukan lagi kesiapannya untuk menjadi tuan rumah perhelatan tingkat internasional. Namun ada secuil peristiwa beberapa hari kemarin yang kelihatannya penting untuk kita renungkan di tengah kebanggaan yang sekarang sedang menyeruak. Sebagaimana dilansir dalam halaman CNN Indonesia (21/7), sekelompok oknum pendukung klub sepakbola Sriwijaya FC melakukan pengrusakan dengan melepas kursi stadion dan melemparkannya ke lapangan lintasan sintesis atletik karena tim kesayangannya dikalahkan oleh Arema FC. Polisi telah bertindak cepat dan segera mengamankan pelaku untuk diperiksa lebih lanjut. Sebaiknya seluruh warga mendukung sepenuhnya kinerja pihak berwenang tentang pengusutan masalah ini.
Tidak dalam arti menganggap enteng perbuatan tercela tersebut, tidak pula bermaksud membesar-besarkannya, peristiwa pengrusakan bangku Stadion Gelora Sriwijaya kebanggaan Wong Kito nampak seperti refleksi dari kekalutan jiwa para anak bangsa beberapa tahun terakhir. Betapa banyak kejadian – di tingkat nasional – yang merekam meletupnya emosi akibat kekecewaan ataupun penentangan seputar perbedaan pilihan hingga identitas. Hal ini telah terasa semenjak penyelenggaraan Pilpres 2014, banyak kejadian yang merekam peningkatan sensitifitas mengenai “yang beda” di tengah keberagaman bangsa. Tak terhitung berapa kali ledakan bom, penyerangan rumah ibadah, perdebatan sengit antara “yang (mengaku paling) agamis” melawan “yang (mengaku paling) nasionalis”, sampai-sampai saling caci dan mendiskreditkan antar-kelompok via media sosial. Dengan perkembangan-perkembangan itu, wajar sekali apabila muncul sebuah pertanyaan; “Mungkinkah Indonesia mampu menjadi Tuan Rumah yang baik bagi bangsa-bangsa lain yang memiliki identitas berbeda-beda ?.” Pertanyaan bernada “nakal” itu memang adakalanya benar. Asian Games mestinya mengingatkan kita dalam melihat perbedaan di tengah kosmis interaksi manusia. Maka, tak ada salahnya kita mesti terlebih dahulu menyegarkan kesadaran pluralitas negeri ini.
Barbara Ward dan Rene Dubos dalam buku mereka yang terkenal, Only One Earth (Indonesia : Hanya Satu Bumi), yang ditulis buat Konferensi PBB di Stockholm pada tahun 1972, menegaskan bahwa, “…Pelbagai identitas yang berbeda-beda – yang ditandai dengan nama negara, bangsa, kelompok, etnis, kelas sosial, gender – berada dalam posisi setara. Mereka ekuivalen di bulatan bumi yang satu, di sebutir planet yang genting…”Ya, demikianlah semestinya manusia melihat bahwa banyaknya “identitas” bukanlah menjadi alasan untuk “mendominasi” sesamanya, sehingga justru malah muncul “marjinalisasi” atau tak jarang berujung pada “eliminasi” identitas-identitas lain. Inilah saat di mana kemudian terjadi masalah ; identitas makin berlaku seperti benteng, mereka menganggap “hanya satu bumi” hanyalah ilusi ; mereka akan kembali menutup pintu (benteng), bersiaga. Benarkah bahwa pengakuan pada keberagaman identitas / pluralitas, hanyalah sebuah ilusi ?.
Sekarang kita ingat lagi hal mendasar yakni ideologi bangsa Indonesia sendiri yang disebut “Pancasila”. Tidakkah pada sila ke-3 dengan jelas berbunyi “Persatuan Indonesia”, dua kata yang memuat kesadaran pada kenyataan (bukan ilusi / khayalan) tentang negara kita yang majemuk (plural), sehingga “Persatuan” menjadi cita-citanya. Memang perlu diakui di saat ini banyak yang berusaha menafikan Pancasila sebagai jawaban atas berbagai permasalahan bangsa. Hal itu disebabkan oleh keteledoran, ketidaktaatan, dan penyelewengan atas nilai-nilai Pancasila, terutama oleh (oknum) penyelenggara negara. Pancasila yang seharusnya menjadi “bintang pimpinan” itu pun redup, menimbulkan kegelapan dalam “rumah” bangsa Indonesia. Sehingga, anak-anak negeri berusaha mencari kunci jawaban atas persoalan negeriny di luar rumah, yang (seolah-Pen) terlihat terang benderang ; padahal kunci jawaban itu tak lain, ada di dalam “rumah” bangsa Indonesia itu sendiri. Itulah salah satu yang menjadi sebab-musabab munculnya orang-orang yang meyakini “kunci jawaban” bangsa ini “terbenam di padang pasir Timur Tengah”, “tertutup salju di negeri Rusia”, “tercecer di Tembok Besar Cina”, atau mungkin “di puncak Patung Liberty”.
Jika kita – utamanya masyarakat Palembang – masih belum percaya bahwa kehidupan yang majemuk / plural bukanlah sebuah ilusi, mari kita lihat evidensi (bukti) yang jelas dari peninggalan sejarah di kota ini yakni Masjid Agung Palembang. Arsitekturnya memiliki makna yang bersesuaian corak keberagaman bangsa ini dalam semangat perbauran budaya dari berbagai unsur yakni Melayu-Palembang, Jawa, Belanda, dan Cina dengan keselarasannya. Nuansa lokal dijumpai dalam bentuk atap limas dan jendela berukiran flora khas, sedangkan nuansa Eropa terlihat dalam pada jendela dan pintu berbentuk ‘U’ terbalik yang besar dan tinggi. Corak Jawa terdapat dalam undakan leher masjid seperti halnya mencerminkan pengaruh bentuk dasar Candi Hindu di Pulau Jawa. Atap bangunan dilengkapi dengan lekuk ornamen dalam bentuk ornamen mustaka (kepala) terjurai yang melengkung ke atas keempat ujungnya menyerupai bentuk atap pada bangunan Cina. Masjid Agung Palembang masih kokoh berdiri dan terus menjadi pusat dakwah Islam yang toleran di ibukota provinsi Sumatera Selatan. Salah satu buktinya ialah dengan membagikan bulletin dakwah bernama Info Masjid, dalam salah satu edisinya pernah memuat artikel bertajuk “Memperkokoh Persaudaraan”, inti dari tulisan itu ialah bahwa keterbatasan manusia menyebabkan bersambungnya “mata rantai ketergantungan” yang tiada kenal batas agama, ideologi, maupun kepercayaan.
Bukti sejarah akan selalu otentik nan relevan dengan zaman apapun yang sedang bergulir. Tantangan-tantangan memang selalu ada. Akibat kemajuan teknologi informasi beberapa tahun belakangan, masyarakat mungkin tengah latah dalam melihat perkembangan dengan tanggapan responsif. Padahal masalah seputar pengabaian pada pluralitas semakin kian terasa sejak satu dekade silam. Menurut penelitian tim dari Pusat Pendidikan dan Informasi Islam dan Hak-hak Perempuan Rahima, gerang “penyeragaman” – sebagai upaya meminggirkan yang berbeda – sudah terjadi setidaknya sejak tahun 2007-2008, jalur yang digunakan salah satunya melalui pendidikan di sekolah. Farha Ciciek, pemimpin penelitian beranggotakan lima peneliti tersebut, menemukan, kelompok-kelompok konservatif dan radikal keagamaan bersifat nasional ataupun transnasional menggunakan sekolah, terutama kegiatan ekstrakurikuler kerohanian, sebagai tempat menyosialisasi nilai dan praktik menolak keberagaman, mengembangkan kepatuhan tanpa nalar kritis, mengajarkan kebenaran tunggal, cenderung mengembangkan sentiment keumatan dan kurang pada rasa kebangsaan dan kemanusiaan, menolak yang berbeda, dan mendiskriminasi perempuan.
Tulisan ini bukan bertujuan untuk menyebarkan skeptisisme seputar kesiapan Palembang selaku salah satu tuan rumah Asian Games. Tapi, tak ada salahnya jika kita berkaca pada diri sendiri, sebelum mata dunia memandang pada bangsa ini. Tentu saat acara itu diselenggarakan, kota ini akan dikunjungi banyak orang dari berbagai bangsa yang beragam dalam bahasa, agama, dan warna kulit. Kita semua percaya bahwa masyarakat Palembang akan menjadi tuan rumah yang ramah selama perhelatan tersebut. Tuan rumah yang tak lupa akar sejarahnya, sebagaimana Audrey Kahin menuliskan dalam Historical Dictionary of Indonesia sebagai salah satu kota tertua di Indonesia yang menempati posisi setrategis perdagangan antara Cina, India, dan Timur Tengah, serta kita akan kembali memukau dunia seperti saat seorang pelancong Arab bernama Sulaiman mengunjungi kota ini pada tahun 851 M. Keyakinan itu harus juga disertai kesigapan dari para aparatur negara, utamanya kepolisian, dalam menghadapi berbagai kemungkinan. Semoga ikhtiar besar ini akan mendulang kesuksesan dan tanpa gangguan berarti.
Sumber :
“Menemukan Pancasila dalam Negara Paripurna” dalam Majalah bestONE Nov 2011-Jan 2012.
“Penyeragaman yang Menyusup”, dalam Kompas, Jumat, 27 Agustus 2010.
Buletin Info Masjid Edisi 04 Th. XII/22 Rabiul Awal 1435 H/24 Januari 2014 M.
Kahin, Audrey, Historical Dictionary of Indonesia , Maryland : Rowman & Littlefield, 2015.
Mahares, Jun, “Dikalahkan Arema, Suporter Sriwijaya FC Ruska Kursi Stadion”, diakses dari www.cnnindonesia.com tanggal 22 Juli 2018 pukul 06.30 WIB.
Mohamad, Goenawan, “Hijau”, dalam Majalah Tempo 9 Desember 2007.
Pramasto, Arafah, Makna Sejarah Bumi Emas : Kumpulan Artike Sumatera Selatan dan Tema-Tema Lain, Bandung : Ellunar Publisher, 2018.
Pramasto, Arafah, Makna Sejarah Bumi Emas : Kumpulan Artike Sumatera Selatan dan Tema-Tema Lain, Bandung : Ellunar Publisher, 2018.
Asian Games di Palembang : Penyegaran Kesadaran Pluralitas
(Versi Ilmiah / Berkutipan Untuk Dinilai Redaktur)
Oleh :
Arafah Pramasto, S.Pd.
(Pendamping Sosial & Penulis Buku Kesejarahan)
Pada tanggal 23 Juli lalu, proses pembangunan Light Rapid Transit (LRT) atau “Kereta Api Ringan” telah selesai. Proyek transportasi umum dalam menyongsong Asian Games tanggal 18 Agustus mendatang telah dimulai sejak November 2015 silam. Penyelenggaraan perhelatan tingkat internasional di Palembang bukanlah kali pertama. Sebelumnya, pada tahun 2011 Palembang telah menjadi salah satu tuan rumah South East Asian Games (SEA Games) / Pesta Olahraga Negara-Negara Asia Tenggara. Sebelum dilaksanakannya ajang olahraga SEA Games pun, tepatnya sejak Januari 2010, sistem transportasi Bus Rapid Transit bernama Trans Musi juga diperkenalkan sembari mengikuti penambahan fasilitas-fasilitas olahraga yang dikenal sebagai Jakabaring Sport City (JSC). Secara fisik, Palembang tak diragukan lagi kesiapannya untuk menjadi tuan rumah perhelatan tingkat internasional. Namun ada secuil peristiwa beberapa hari kemarin yang kelihatannya penting untuk kita renungkan di tengah kebanggaan yang sekarang sedang menyeruak. Sebagaimana dilansir dalam halaman CNN Indonesia (21/7), sekelompok oknum pendukung klub sepakbola Sriwijaya FC melakukan pengrusakan dengan melepas kursi stadion dan melemparkannya ke lapangan lintasan sintesis atletik karena tim kesayangannya dikalahkan oleh Arema FC.[1] Polisi telah bertindak cepat dan segera mengamankan pelaku untuk diperiksa lebih lanjut. Sebaiknya seluruh warga mendukung sepenuhnya kinerja pihak berwenang tentang pengusutan masalah ini.
Tidak dalam arti menganggap enteng perbuatan tercela tersebut, tidak pula bermaksud membesar-besarkannya, peristiwa pengrusakan bangku Stadion Gelora Sriwijaya kebanggaan Wong Kito nampak seperti refleksi dari kekalutan jiwa para anak bangsa beberapa tahun terakhir. Betapa banyak kejadian – di tingkat nasional – yang merekam meletupnya emosi akibat kekecewaan ataupun penentangan seputar perbedaan pilihan hingga identitas. Hal ini telah terasa semenjak penyelenggaraan Pilpres 2014, banyak kejadian yang merekam peningkatan sensitifitas mengenai “yang beda” di tengah keberagaman bangsa. Tak terhitung berapa kali ledakan bom, penyerangan rumah ibadah, perdebatan sengit antara “yang (mengaku paling) agamis” melawan “yang (mengaku paling) nasionalis”, sampai-sampai saling caci dan mendiskreditkan antar-kelompok via media sosial. Dengan perkembangan-perkembangan itu, wajar sekali apabila muncul sebuah pertanyaan; “Mungkinkah Indonesia mampu menjadi Tuan Rumah yang baik bagi bangsa-bangsa lain yang memiliki identitas berbeda-beda ?.” Pertanyaan bernada “nakal” itu memang adakalanya benar. Asian Games mestinya mengingatkan kita dalam melihat perbedaan di tengah kosmis interaksi manusia. Maka, tak ada salahnya kita mesti terlebih dahulu menyegarkan kesadaran pluralitas negeri ini.
Barbara Ward dan Rene Dubos dalam buku mereka yang terkenal, Only One Earth (Indonesia : Hanya Satu Bumi), yang ditulis buat Konferensi PBB di Stockholm pada tahun 1972, menegaskan bahwa, “…Pelbagai identitas yang berbeda-beda – yang ditandai dengan nama negara, bangsa, kelompok, etnis, kelas sosial, gender – berada dalam posisi setara. Mereka ekuivalen di bulatan bumi yang satu, di sebutir planet yang genting…”[2] Ya, demikianlah semestinya manusia melihat bahwa banyaknya “identitas” bukanlah menjadi alasan untuk “mendominasi” sesamanya, sehingga justru malah muncul “marjinalisasi” atau tak jarang berujung pada “eliminasi” identitas-identitas lain. Inilah saat di mana kemudian terjadi masalah ; identitas makin berlaku seperti benteng, mereka menganggap “hanya satu bumi” hanyalah ilusi ; mereka akan kembali menutup pintu (benteng), bersiaga.[3] Benarkah bahwa pengakuan pada keberagaman identitas / pluralitas, hanyalah sebuah ilusi ?.
Sekarang kita ingat lagi hal mendasar yakni ideologi bangsa Indonesia sendiri yang disebut “Pancasila”. Tidakkah pada sila ke-3 dengan jelas berbunyi “Persatuan Indonesia”, dua kata yang memuat kesadaran pada kenyataan (bukan ilusi / khayalan) tentang negara kita yang majemuk (plural), sehingga “Persatuan” menjadi cita-citanya. Memang perlu diakui di saat ini banyak yang berusaha menafikan Pancasila sebagai jawaban atas berbagai permasalahan bangsa. Hal itu disebabkan oleh keteledoran, ketidaktaatan, dan penyelewengan atas nilai-nilai Pancasila, terutama oleh (oknum) penyelenggara negara. Pancasila yang seharusnya menjadi “bintang pimpinan” itu pun redup, menimbulkan kegelapan dalam “rumah” bangsa Indonesia. Sehingga, anak-anak negeri berusaha mencari kunci jawaban atas persoalan negeriny di luar rumah, yang (seolah-Pen) terlihat terang benderang ; padahal kunci jawaban itu tak lain, ada di dalam “rumah” bangsa Indonesia itu sendiri.[4] Itulah salah satu yang menjadi sebab-musabab munculnya orang-orang yang meyakini “kunci jawaban” bangsa ini “terbenam di padang pasir Timur Tengah”, “tertutup salju di negeri Rusia”, “tercecer di Tembok Besar Cina”, atau mungkin “di puncak Patung Liberty”.
Jika kita – utamanya masyarakat Palembang – masih belum percaya bahwa kehidupan yang majemuk / plural bukanlah sebuah ilusi, mari kita lihat evidensi (bukti) yang jelas dari peninggalan sejarah di kota ini yakni Masjid Agung Palembang. Arsitekturnya memiliki makna yang bersesuaian corak keberagaman bangsa ini dalam semangat perbauran budaya dari berbagai unsur yakni Melayu-Palembang, Jawa, Belanda, dan Cina dengan keselarasannya. Nuansa lokal dijumpai dalam bentuk atap limas dan jendela berukiran flora khas, sedangkan nuansa Eropa terlihat dalam pada jendela dan pintu berbentuk ‘U’ terbalik yang besar dan tinggi. Corak Jawa terdapat dalam undakan leher masjid seperti halnya mencerminkan pengaruh bentuk dasar Candi Hindu di Pulau Jawa. Atap bangunan dilengkapi dengan lekuk ornamen dalam bentuk ornamen mustaka (kepala) terjurai yang melengkung ke atas keempat ujungnya menyerupai bentuk atap pada bangunan Cina.[5] Masjid Agung Palembang masih kokoh berdiri dan terus menjadi pusat dakwah Islam yang toleran di ibukota provinsi Sumatera Selatan. Salah satu buktinya ialah dengan membagikan bulletin dakwah bernama Info Masjid , dalam salah satu edisinya pernah memuat artikel bertajuk “Memperkokoh Persaudaraan”, inti dari tulisan itu ialah bahwa keterbatasan manusia menyebabkan bersambungnya “mata rantai ketergantungan” yang tiada kenal batas agama, ideologi, maupun kepercayaan.[6]
Bukti sejarah akan selalu otentik nan relevan dengan zaman apapun yang sedang bergulir. Tantangan-tantangan memang selalu ada. Akibat kemajuan teknologi informasi beberapa tahun belakangan, masyarakat mungkin tengah latah dalam melihat perkembangan dengan tanggapan responsif. Padahal masalah seputar pengabaian pada pluralitas semakin kian terasa sejak satu dekade silam. Menurut penelitian tim dari Pusat Pendidikan dan Informasi Islam dan Hak-hak Perempuan Rahima, gerang “penyeragaman” – sebagai upaya meminggirkan yang berbeda – sudah terjadi setidaknya sejak tahun 2007-2008, jalur yang digunakan salah satunya melalui pendidikan di sekolah. Farha Ciciek, pemimpin penelitian beranggotakan lima peneliti tersebut, menemukan, kelompok-kelompok konservatif dan radikal keagamaan bersifat nasional ataupun transnasional menggunakan sekolah, terutama kegiatan ekstrakurikuler kerohanian, sebagai tempat menyosialisasi nilai dan praktik menolak keberagaman, mengembangkan kepatuhan tanpa nalar kritis, mengajarkan kebenaran tunggal, cenderung mengembangkan sentiment keumatan dan kurang pada rasa kebangsaan dan kemanusiaan, menolak yang berbeda, dan mendiskriminasi perempuan.[7]
Tulisan ini bukan bertujuan untuk menyebarkan skeptisisme seputar kesiapan Palembang selaku salah satu tuan rumah Asian Games. Tapi, tak ada salahnya jika kita berkaca pada diri sendiri, sebelum mata dunia memandang pada bangsa ini. Tentu saat acara itu diselenggarakan, kota ini akan dikunjungi banyak orang dari berbagai bangsa yang beragam dalam bahasa, agama, dan warna kulit. Kita semua percaya bahwa masyarakat Palembang akan menjadi tuan rumah yang ramah selama perhelatan tersebut. Tuan rumah yang tak lupa akar sejarahnya, sebagaimana Audrey Kahin menuliskan dalam Historical Dictionary of Indonesia sebagai salah satu kota tertua di Indonesia yang menempati posisi setrategis perdagangan antara Cina, India, dan Timur Tengah[8], serta kita akan kembali memukau dunia seperti saat seorang pelancong Arab bernama Sulaiman mengunjungi kota ini pada tahun 851 M.[9] Keyakinan itu harus juga disertai kesigapan dari para aparatur negara, utamanya kepolisian, dalam menghadapi berbagai kemungkinan. Semoga ikhtiar besar ini akan mendulang kesuksesan dan tanpa gangguan berarti.
Sumber :
Mahares, Jun, “Dikalahkan Arema, Suporter Sriwijaya FC Ruska Kursi Stadion”, diakses dari www.cnnindonesia.com tanggal 22 Juli 2018 pukul 06.30 WIB.
Mohamad, Goenawan, “Hijau”, dalam Majalah Tempo 9 Desember 2007. Hlm. 186.
Ibid.
“Menemukan Pancasila dalam Negara Paripurna” dalam Majalah bestONE Nov 2011-Jan 2012. Hlm. 9.
Pramasto, Arafah, Makna Sejarah Bumi Emas : Kumpulan Artike Sumatera Selatan dan Tema-Tema Lain, Bandung : Ellunar Publisher, 2018. Hlm. 33-34.
Buletin Info Masjid Edisi 04 Th. XII/22 Rabiul Awal 1435 H/24 Januari 2014 M.
“Penyeragaman yang Menyusup”, dalam Kompas, Jumat, 27 Agustus 2010.
Kahin, Audrey, Historical Dictionary of Indonesia , Maryland : Rowman & Littlefield, 2015. Hlm. 337.
Pramasto, Arafah, Makna Sejarah Bumi Emas : Kumpulan Artike Sumatera Selatan dan Tema-Tema Lain, Bandung : Ellunar Publisher, 2018. Hlm. 12.(rel)