Wakil Rakyat OKI Tampung Aspirasi Mahasiswa

IMG_20180302_104435_1

-Menolak UU MD3

KAYUAGUNG- Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) OKI melakukan aksi demonstrasi di halaman Gedung DPRD OKI, Jumat (2/3) sekitar pukul 10.30WIB. Massa ini menuntut penolakan terhadap Undang-undang Nomor 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3), meminta presiden membuat Perpu pengganti UU dan meminta seluruh anggota DPRD OKI menyatakan sikap menolak UU MD3 secara tertulis.

Bacaan Lainnya

Pantauan dilapangan, puluhan massa datang dari Lempuing OKI dengan membawa bendera PMII dan juga poster serta spanduk bertuliskan “UU MD3 membungkam suara rakyat”, “wakil rakyat seharusnya merakyat”, “wakil rakyat bukan paduan suara”, “UU MD3 produk sampah” berdatangan dengan menggunakan sepeda motor dan mobil pikup.

Massa berorasi dengan tertib dengan dikawal pihak kepolisian. Massa menilai UU MD3 itu sangat bertolak belakang dengan hakikat sistem pemerintahan demokrasi saat ini.

Sayangnya, orasi ini hanya dihadiri dua anggota dewan terhormat yakni H Laharsen Murtado dan Juni Alpansuri. Sementara anggota dewan lain absen ke gedung DPRD OKI. Massa lalu mencemooh wakil rakyat yang minim hadir menampung aspirasi massa ini.

Koordinator aksi PMII, Sahabat Ridwan menegaskan alasan penolakan UU MD3 karena Indonesia merupakan negara demokrasi.

“Jangan kau bungkam demokrasi dengan RUU MD3. Sejatinya demokrasi itu untuk menghasilkan kekuasaan yang mrlindungi rakyat, bukan melindungi kekuasaan itu sendiri, termasuk koruptor,” terangnya.

Dia menambahkan bahwa anggota dewan itu bukanlah dewa, dan bukan pula Tuhan yang kebal akan hukum, anti kritik serta RUU MD3 dianggap telah menciderai demokrasi.

“Jika masyarakat tidak boleh mengkritik dan dipandang penistaan anggota dewan dan akan dijerat hukum, lalu apakah anggota dewan itu Tuhan karena tidak salah,” terangnya.

Untuk itu, pihaknya menyampaikan sejumlah petisi yang ditolak antara lain tiap orang dianggap merendahkan DPR dapat dipenjara. Ini adalah upaya membungkam masyarakat yang ingin mengkritik DPR. DPR justru seakan menjadi lembaga otoriter.

Buktinya, jika dipanggil DPRD tidak datang sama dengan bisa dipanggil paksa polisi. Pemanggilan paksa ini terpasuk pada pimpinan KPK yang sebelumnya yang bukan menjadi kewenangan DPR. Langkah ini menjadi intervensi DPR terhadap proses pemberantasan korupsi di KPK.

“Jika anggota Dewan dalam kasus harus dapat persetujuan MKD, dimana anggota MKD merupakan anggota dewan. Hal ini dapat menghambat pemberatasan korupsi. Pembodohan ada dimana-mana. Petani dibebankan pajak. Sementara dewan duduk manis dikursi empuk,” ucapnya.

Kendatipun sempat bersitegang adu argument antara pendemo dengan satu anggota dewan, namun kondisi kondusif.

“Untuk dewan rakyat jangan hanya mendiamkan rakyatnya saja. Masak hanya dua wakil rakyat yang ada menemui rakyat,” akunya.

Menyikapi itu, anggota DPRD OKI, Juni Alpansuri didampingi Laharsen Murtado mengaku memang baru dua anggota dewan yang menemui massa aksi dan anggota dewan lain tidak hadir karena menjalankan tugas masing-masing.

Untuk itu, pihaknya memberikan ruang bagi massa aksi untuk menyampaikan aspirasinya. Kehadiran dewan lain tidak menjadi hal yang prinsip. Pembuat UU itu ialah DPR RI bersama pemerintah dan tidak boleh sepihak.

“Ada judicial review. Jadi mahasiswa silakan mengajukan sanggahan terhadap pasal-pasal yang dianggap tidak berpihak kepada rakyat. Jadi, apapun tuntutannya, kami siap tampung,” tutur anggota DPRD OKI dari Partai Hanura OKI.

Penandatanganan petisi akhirnya tidak bisa dilakukan anggota DPRD OKI karena tuntutan massa belum jelas. Akhirnya massa membubarkan diri dengan tertib.(abu)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *