JAKARTA-Beragam pandangan, silang pendapat terkait kapan dan bagaimana pelaksanaan Hari Pers Nasional (HPN) tak luput dari perhatian Prof DR Bagir Manan, SH., MH.
Menurut Bagir, jika berbicara tentang kapan baiknya pelaksanaan HPN, sebaiknya diserahkan kepada Dewan Pers (DP). Alasannya, agar lebih netral, dan DP itu milik seluruh konstituen kewartawanan di Indonesia.
“Bahwa panitia pelaksana nantinya bukan unsur DP, tapi oleh salah satu ketua atau pengurus dari organisasi lain tidak masalah, yang penting kepanitiaan dikoordinasi DP. Makanya hak pelaksanaan diserahkan ke DP saja,” ujar Bagir seusai menghadiri HPN, di Padang.
Ketua Dewan Etik Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) ini menilai, bahwa gejolak ingin keluar dari kungkungan PWI itu masuk akal. Karena saat ini organisasi wartawan tidak tunggal.
Dia memahami gejolak pergantian tanggal itu dipicu ulah Ketua PWI Margiono yang tidak memiliki etika kuat karena terjun ke politik praktis sebagai calon Bupati Tulungagung, namun masih menjabat Ketua PWI. Hal ini mencederai etika independensi wartawan dan menjatuhkan kredibilitasnya.
“Ya, Margiono merasa perlu untuk tampil pidato di depan Presiden, dengan memberikan pujian agar mencerminkan bahwa dia mendukung Jokowi dan berharap dapat dukungan pencalonannya,” katanya.
Tapi, alih-alih memanfaatkan pidato yang elegan, Bagir menilai Ketua PWI malah melakukan stand-up comedy.
“Saya sedih, kok kepala institusi wartawan seperti itu,” ucap Bagir sambil mengelus dada.
Hanya saja, Bagir tidak bisa menyepakati mana yang lebih pas apakah Februari atau November pelaksanaan yang sesuai. Masing-masing memiliki alasan dan landasan yang bisa diperdebatkan.
“Kalau paling gampang kapan tonggak pers, tapi tidak ketemu titiknya. Bagaimana kalau HPN disamakan dengan sejak Republik ini berdiri saja, 17 Agustus. Biar sepakat dan tak ada yang merasa paling benar. Yang pasti, saya setuju ada pembahasan soal HPN. Saya sarankan permasalahan ini disampaikan ke pemerintah agar dibahas bersama,” tuturnya.
Diketahui, Aliansi Jurnalis Indepent (AJI) dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) mendesak agar pelaksanaan HPN direvisi. Terutama menyangkut soal tanggal, dimana 9 Februari sejatinya itu adalah hari kelahiran organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Peringatan tahunan ini mulai dilakukan setelah Presiden Soeharto mengeluarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 5/1985 yang menetapkan tanggal itu sebagai HPN.
Setelah Soeharto jatuh menyusul gerakan reformasi tahun 1998, ada sejumlah perubahan penting yang terjadi. Dalam bidang media itu ditandai dengan lahirnya Undang Undang Nomor 40/1999 tentang Pers. Sejumlah regulasi Orde Baru dibidang pers juga dikoreksi. Termasuk pencabutan SK Menpen Nomor 47/1975 tentang pengakuan pemerintah terhadap PWI sebagai satu-satunya organisasi wartawan di Indonesia.
Lahirnya Undang Undang Pers juga mendorong bermunculannya organisasi wartawan, selain perusahaan media-media baru. Sebelumnya, regulasi media cetak diatur ketat melalui Permenpen No.01/Per/Menpen/1984 Tentang Ketentuan-Ketentuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers. Ketentuan soal SIUPP ini juga akhirnya dicabut oleh Pemerintah pada tahun 1999. Tapi HPN tetap 9 Februari mengacu hari lahir PWI. Padahal saat ini organisasi wartawan bukan cuma PWI.
Sejatinya, bahwa pertemuan di Solo pada 1949 itu bukan cuma membahas soal PWI. Tapi itu kali pertama membahas tentang pera perjuangan. Hanya kebetulan saja bareng acara PWI, tapi justru ajang pembahasan penting untuk tonggak perjalanan dunia kewartawanan berikutnya. (jay)