Oleh: Adi Yanto
Kasubag Media dan Komunikasi Publik Setda OKI
Dari daerah-daerah se Nusantara ini, banyak pahlawan besarnya jasa dan pengorbanan meraka dalam merebut kemerdekaan terlupakan oleh generasi muda saat ini. Salah satunya adalah Sersan Mayor Abdul Muis pejuang syahid yang menyalamatkan Jejawi dari serangan tentara NICA (Netherland Indies Civil Administration-Pemerintahan Sipil Hindia Belanda) pada tahun 1947.
Satu-satunya pengingat jejak, Abdul Muis di Batun Jejawi OKI adalah monumen patung pejuang yang berdiri kokoh di pangkal jembatan Muara Batun. Desa Batun Kecamatan Jejawi OKI berjarak kurang lebih 32 Km dari Kota Palembang. Jika melintas di Jembatan Muara Batun, kita akan melewati sebuah monumen patung pejuang yang berdiri tepat di pangkal Jembatan menghadap ke arah Palembang. Meski sudah usang, Patung tersebut tetap terlihat gagah dengan pakaian lengkapnya. Tangan kanannya mengangkat senjata sedang tangan kirinya dilempar kebelakang. Seutas merah putih tampak terlilit dikepalanya. Sementara dipinggangnya melekat dua buah geranat tangan. Dari relief patung terlihat sosok tersebut sedang meneriakkan pekik kemerdekaan.
Setiap pengendara yang melintasi nonumen tersebut, termasuk penulis selalu bertanya-tanya dalam hati siapa gerangan sosok yang dijadikan monumen itu. Tentu ada kisah menarik yang melatarbelakangi pendirian monumen patung tersebut karena setahu penulis monumen adalah bangunan atau tempat yang mempunyai nilai sejarah yang penting.
Sayang, tidak banyak generasi muda saat ini yang peduli dan ingin tahu, sejarah di balik pembuatan monument tersebut dan sedikit sekali nara sumber maupun manuscript yang bisa dijadikan rujukan sejarah heroik perjuangan sang pahlawan itu. Sebelumnya tulisan tentang monumen di Pangkal Jembatan Desa Jejawi pernah ditulis oleh Robby Anugerah.
Dari keterangan warga setempat bahwa monument tersebut didirikan pada tahun 1984. Untuk mengenang sosok Serma Abdul Muis, pejuang syahid yang menyalamatkan Jejawi dari serangan tentara NICA (Netherland Indies Civil Administration-Pemerintahan Sipil Hindia Belanda) pada tahun 1947.
Bila ditarik sejarah, kisah ini dilatarbelakangi kekalahan Jepang dari sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945, sekutu kemudian memerintahkan Jepang untuk melaksanakan status quo, yaitu menjaga situasi dan kondisi sebagaimana adanya pada saat itu sampai kedatangan tentara sekutu ke Indonesia.
Kedatangan sekutu ke Indonesia semula mendapatkan sambutan hangat dari rakyat Indonesia, seperti kedatangan Jepang dulu. Akan tetapi setelah diketahui mereka datang disertai orang-orang NICA (Netherlands Indies Civil Administration), sikap rakyat Indonesia berubah menjadi penuh kecurigaan dan bahkan akhirnya bermusuhan. Bangsa Indonesia mengetahui bahwa NICA berniat menegakkan kembali kekuasaannya.
Hal itu bukan semata praduga karena pada kenyataannya kedatangan pihak sekutu selalu menimbulkan insiden di beberapa daerah. Tentara sekutu sering menunjukkan sikap tidak menghormati kedaulatan bangsa Indonesia. Lebih dari itu, tampak jelas bahwa NICA ingin mengambil alih kembali kekuasaan di Indonesia. Diantaranya di Ogan Komering Ilir Sumatera Selatan.
Saat itu, wilayah Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), termasuk ke dalam wilayah Keresidenan Sumatera Selatan dan Sub Keresidenan (Afdeeling) Palembang dan Tanah Datar dengan ibukota Palembang. Afdeeling ini dibagi dalam beberapa onder afdeeling, dan wilayah Kabupaten OKI meliputi wilayah onder afdeeling Komering Ilir dan onder afdeeling Ogan Ilir.
Dilansir dari Robby Anugerah yang melakukan wawancara langsung dengan Amidin Jailani, veteran perang yang turut berjuang bersama Serma Abdul Muis saat penyerangan pasukan NICA di Desa Muara Batun tahun 1947 menceritakan bahwa pertempuran di Muara Batun tahun 1947 tidak lepas dari kalahnya pertempuran yang ada di Palembang tanggal 1-5 Januari 1947 (atau dikenal pertempuran lima hari lima malam). Di mana setelah Belanda (NICA) mendapatkan kemenangan di Palembang, mereka melanjutkan ke daerah lainnya terutama Kayu Agung, Ibu Kota Kabupaten OKI saat ini. Demi menjaga Kayu Agung itulah, pimpinan militer Tentara Republik Indonesia (TRI) untuk kawasan Sumatera membentuk suatu brigade tempur.
Dikutif dari buku “Mengenal Seni Budaya OKI” yang ditulis Saudi Burlian mengatakan secara topografis Kabupaten Ogan Komering Ilir memang merupakan dataran rendah yang sangat luas. Sejak dahulu warga OKI mengandalkan sungai sebagai sumber penghidupan dan pertahanan. Pasar dan geliat kehidupan banyak dihabiskan ditepian sungai. Demikian dengan pertahanan. Sebut saja kisah penaklukan Bun Syukko (Kantor Pendudukan Jepang) dua tahun sebelum kisah ini di Kayuagung OKI oleh pasukan berani mati pimpinan Lettu. Nuh Macan dengan memanfaatkan Sungai Komering.
Memang ada tiga sungai besar yang melintasi wilayah ini, yaitu Sungai Ogan, Komering dan Mesuji. Dalam peta pertahanan OKI, ada dua klasifikasi daerah yang dianggap menjadi titik rawan pada saat itu. Pertama, dari jalur air yakni sungai Komering dan sungai Ogan. Kedua, dari jalur darat yang ditempuh dalam dua rute. Rute pertama, Palembang-Rambutan-Jejawi-Sirah P. Padang-Kayu Agung. Rute kedua, Palembang-Simpang Payakabung-Kayu Agung.
Pengamanan keseluruhan daerah tersebut dilakukan dengan membentuk tiga front, yaitu front tengah, front kanan, dan front kiri.
Dijalur darat pada rute pertama, Belanda berhasil memukul mundur pasukan Indonesia dari simpang Rambutan. Mereka menjadikan Rambutan sebagai pertahanan sebelum bergerak ke Kayu Agung. Setelah itu mereka maju kembali masuk ke dusun Lingkis pada tanggal 23 Januari 1947.
Ketika memasuki Lingkis, pasukan Belanda diserang secara frontal oleh pasukan Indonesia. Sehingga pasukan Belanda terpaksa mundur dan kembali ke Simpang Rambutan. Sedangkan pasukan Indonesia sendiri mundur ke Muara Batun untuk mempersiapkan diri menghadapi serangan Belanda yang kedua.
Akhirnya, setelah memiliki perencanaan yang matang, pasukan Belanda memasuki kembali Dusun Lingkis. Kali ini mereka membawa amunisi lebih banyak dan modern dari sebelumnya. Dengan adanya dukungan senjata seperti itu, pasukan Belanda berhasil menduduki Lingkis dalam waktu yang singkat.
Namun pada saat memasuki wilayah Muara Batun, pasukan Belanda benar-benar baru merasakan bagaimana semangat para pejuang Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan. Taktik gerilya yang diterapkan oleh komando Serma Abdul Muis ternyata membuat pasukan Belanda kesulitan. Belanda benar-benar tidak tahu mana yang pejuang dan mana yang sipil. Senjata modern yang mereka bawa pun seakan tidak berguna. Belanda kalah dengan taktik yang diterapkan Serma Abdul Muis.
Karena gagal menerobos Muara Batun, akhirnya Belanda pun menerapkan strategi kotor. Mereka menembaki semua orang yang ada dihadapannya. Rumah-rumah warga dibakar, dan orang-orang tidak bersalah dianiaya. Tujuannya agar para pejuang Indonesia keluar dari tempat persembunyian dan menyerahkan diri.
Namun Serma Abdul Muis lebih memilih mengahadapi Belanda secara berhadapan ketimbang menyerahkan diri. Sehingga terjadilah tembak-menembak antara pasukan Belanda dan pasukan Indonesia. Karena senjata yang tidak memadai, pasukan Indonesia mundur sampai ke jembatan Sungai Ogan yang memisahkan Muara Batun Barat dan Timur (sekarang desa Batun Baru). Dijembatan Muara Batun inilah akhirnya Serma Abdul Muis tertembak saat hendak meledakkan jembatan yang menghubungkan Muara Batun Barat dan Timur. Peristiwa naas tersebut dimulai saat pasukaan Indonesia tidak dapat lagi menahan serangan Belanda. Karena terus terdesak, Serma Abdul Muis pun memasang taktik mengulur waktu dengan cara meledakkan jembatan yang menghubungkan Muara Batun Barat dan Timur. Agar para pejuang kemerdekaan yang masih tersisa bisa melarikan diri ke benteng pertahanan di Kayu Agung.
Dalam usaha peledakan jembatan, Serma Abdul Muis menunjuk dirinya sebagai eksekutor dengan ditemani tujuh rekan lainnya sebagai pelindung. Kemudian Serma Abdul Muis mulai melakukan aksinya. Pertama-tama ia bergerak ke tengah jembatan dan memasang granat, lalu mulai menyalakan api agar efek ledakan bisa melukai Belanda. Namun sayang ketika menyalakan api itulah peluru-peluru Belanda berhasil menembus dada Serma Abdul Muis sehingga gugurlah dalam pertempuran mempertahankan kemerdekaan Indonesia di jembatan Sungai Ogan. Kematian Serma Abdul Muis itu memukul moril dan keberanian para pejuang dalam mempertahankan wilayah OKI dari pasukan Belanda.
Sosok Serma Abdul Muis adalah pahlawan yang turut berperan penting dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia di wilayah Sumatera Selatan. Sayangnya kini, namanya tidak dikenal banyak orang, terutama bagi warga OKI sendiri. Ini terbukti dari banyaknya anak muda yang tidak tahu dengan sosok patung tersebut.
Cerita mengenai pahlawan daerah, Serma Abdul Muis ini kiranya dapat menjadi inspirasi dan motivasi bagi generasi muda saat ini untuk mengenal pahlawan daerahnya. Di momentum HUT RI ke 72 ini saatnyalah kita menemukan arti dan nilai-nilai pengabdian mereka kepada bangsa ini─demi generasi muda Indonesia lebih baik. Dirgahayu Republik Indonesia ke 72. (abu)