(Catatan terhadap Hari Buku se-Dunia 23 April)
Oleh Abdiyanto Fikri, SH., MH.
(Penulis adalah Politisi PDIP Kabupaten OKI)
Hukuman terhadap peserta didik (murid) yang melanggar di sekolah merupakan satu upaya agar peserta didik jera, untuk kemudian hari tidak melakukan hal serupa. Dalam perjalanan sejarah hukuman di sekolah, hampir dari generasi ke generasi mengalami hal sama. Hukuman yang diberlakukan tidak lebih bentuk kekerasan psikologis, bahkan fisik terhadap peserta didik.
Tidak dapat dipungkiri, sebagian kita mungkin pernah mengalami atau mendapat hukuman dari guru, sebagai akibat melanggar tata tertib sekolah. Bentuk hukumannya meliputi berdiri di depan kelas, dijemur di halaman sekolah, berdiri dan hormat kepada bendera merah putih, atau membersihkan WC dan menyapu halaman.
Ironisnya, bentuk hukuman ini sudah demikian lekat di hampir setiap guru, sejak dulu hingga sekarang. Sehingga sampai hari ini, hukuman serupa seolah menjadi warisan nenek moyang yang sulit diubah. Bahkan, sebagian guru di era kini masih juga menerapkan hukuman serupa sebagaimana “ajaran” guru sebelumnya.
Tak jarang pula kisah hukuman di sekolah tempo dulu, acap kali menjadi bahan kisah lucu di sebuah reuni ketika si peserta didik sudah beranjak dewasa, atau ketika sudah menjadi wali dari peserta didik. Meski tak ada lagi kekesalan, namun goresan sejarah masa lalu akan teringat selalu, apalagi bertemu guru yang pernah menghukumnya.
Membaca sebagai hukuman
Pada perkembangan pemikiran peserta didik seperti saat ini, hukuman versi tempo dulu sepertinya tidak relevan lagi. Selain tidak memiliki nilai edukasi bagi peserta didik, hukuman versi tempo dulu juga tidak memberi kesan baik di perjalanan sejarah bagi peserta didik, ketika yang bersangkutan menjadi pendidik bagi generasi berikutnya.
Akan lebih baik, bila hukuman bagi peserta didik diubah menjadi hukuman yang menitiskan nilai edukasi dan muatan intelektual bagi peserta didik. Salah satu diantaranya, setiap peserta didik dihukum dengan kewajiban membaca satu atau dua buah buku dalam waktu tertentu.
Di hari berikutnya, si terhukum harus melakukan presentasi di depan kelas, setelah sebelumnya peserta didik yang terhukum juga membuat satu ringkasan buku yang sudah dibacanya. Semakin banyak pelanggaran, maka dengan sendirinya peserta didik akan mendapat hukuman lebih dari satu buku.
Tahap awal, buku yang akan menjadi bahan hukuman bagi peserta didik yang melanggar sesuai dengan minat peserta didik. Dengan kata lain, pilihan awal buku yang akan menjadi bahan hukuman si pelanggar diserahkan kepada yang bersangkutan. Ini bertujuan si pelanggar tidak merasa terbebani ketika menjalani hukuman. Justru sebaliknya, sekolah atau pendidik juga dapat mendeteksi kecenderungan si terhukum, berdasar pada bacaan yang dipilihnya.
Tahap kedua, hukuman dilanjutkan dengan pilihan judul buku. Pada tahap ini sekolah atau pendidik yang bertugas memberi hukuman mengajukan beberapa alternatif judul buku kepada calon terhukum. Tahapan ini dilakukan untuk pengembangan intelektual bagi setiap peserta didik yang terhukum, untuk kemudian membangun wacana pikir bagi setiap pelanggar dengan referensi yang berbeda.
Langkah berikutnya, diluar tugas membaca dan meresensi (meringkas) buku, setiap peserta didik diwajibkan menyumbang satu judul buku ke perpustakaan. Ketentuannya, buku yang disumbangkan harus berkaitan dengan tema pendidikan sesuai derajat kelas yang bersangkutan. Tujuannya untuk menambah referensi buku di perpustakaan sekolah, sekaligus membangun budaya sadar baca buku di sekolah.
Sebab rendahnya minat baca, selama ini hanya menjadi bahasan dari seminar-seminar dan diskusi. Namun tak juga memunculkan solusi terbaik tentang bagaimana strategi memacu peserta didik untuk membaca. Hal yang sangat baik bila di salah satu SMA Negeri di Kabupaten OKI Sumsel, sudah membuat perpustakaan di setiap kelas.
Ada kompetisi perpustakaan antar kelas, sehingga masing-masing peserta didik termotivasi menjadi yang terbaik. Akan lebih baik lagi, jika kompetisi ini diringi dengan lomba kupas buku atau semacam cerdas cermat kaji buku tertentu, sehingga peserta didik bukan sekadar bangga dengan perpustakaan di dalam kelas, tetapi juga mampu mempresentasikan isi buku yang tertata di perpustakaan di depan teman-temannya.
Demikian pentingnnya membaca dalam membangun kancah kreatifitas ilmiah di ranah pendidikan, Tuhan pun menurunkan wahyu pertama kepada Nabi Muhammad SAW dengan kata : Iqra (bacalah!), terdapat dalam Surat Al-‘Alaq ayat 1-5.
Ini sebuah kenyataan betapa pentingnya membaca, bukan sekadar membaca yang tersurat melainkan juga membaca fenomena alam, sebagai bahan bacaan yang tersirat. Semua ada makna kedalaman yang bisa diterjemahkan dalam perilaku keseharian, baik lahir maupun batin. Semoga kita tergolong manusia yang gemar membaca, secara dhohir dan batin. Selamat hari buku se-dunia!**